Kamis 26 Sep 2024 17:13 WIB

Gugatan Lima Ibu Dikabulkan MK, Ayah Kandung tak Bisa Ambil Anak Secara Paksa tanpa Hak

Pemohon adalah ibu-ibu yang punya hak asuh, tetapi anak mereka dibawa lari oleh ayah.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Foto: Republika.co.id
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana, sebab tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perkara tersebut terkait uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/9/2024).

Baca Juga

Perkara uji materi ini dimohonkan oleh lima orang ibu, yakni Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Para pemohon mempersoalkan frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP. Menurut para pemohon, berdasarkan pengalaman pribadi mereka, frasa “barang siapa” pada pasal dimaksud berpotensi ditafsirkan bahwa ayah atau ibu kandung dari anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri.

Kelima pemohon merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun, mereka tidak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya karena sang ayah diduga membawa kabur anak.

Ketika para pemohon melaporkan perbuatan mantan suami ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporan mereka tidak diterima ataupun tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri.

Berdasarkan hal itu, para pemohon meminta kepada MK agar frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diganti menjadi “setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak”.

Terkait hal ini, Mahkamah menjelaskan, frasa “barang siapa” dalam pasal diuji merupakan padanan kata dari bahasa Belanda “hij die” yang merujuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan diancam pidana. Artinya, frasa tersebut mengandung makna “setiap orang”.

“Dengan demikian, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP, frasa 'barang siapa' dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna setiap orang,” ucap Arief.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement