REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat melalui Agung Pambudi menegaskan tidak ada surat keputusan yang menyatakan adanya tanah adat di wilayah Kabupaten Simalungun.
Sesuai regulasi harus ada Peraturan Daerah (PerDa) yang menyatakan adanya tanah adat di wilayah tersebut.
“Dalam kaitan persoalan tanah adat di Kabupaten Simalungun termasuk pengakuan sekelompok orang atas tanah adat di Sihaporas dan di Parmonangan, sampai saat ini Kantor Kementerian LHK tidak ada merekomendasikan atau menetapkan sebagai tanah adat,” kata Agung Pambudi saat menerima Ketua Umum DPP/Presidium Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (PACS)/Partuha Maujana Simalungun (PMS) Dr Sarmedi Purba, Sp OG, didampingi Sekretaris Eksekutif Rohdian Purba di Kantor KLHK, Jakarta, Rabu (18/9/2024) lalu.
Menurut Agung, hutan adat memang berada di wilayah hukum masyarakat adat. Hutan adat atau tanah adat harus memiliki aturan atau regulasi termasuk di antaranya kajian yang melibatkan seluruh stakeholder tentang tahapan panjang penetapan tanah adat berdasar kajian dari KLHK serta ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PerDa).
“Namun, sampai saat ini tidak ada PerDa di Kabupaten Simalungun tentang tanah adat,” ujar Agung, dalam keterangannya, Jumat (20/9/2024).
Hal senada disampaikan Ketua Umum DPP/Presidium Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (PACS)/Partuha Maujana Simalungun (PMS), Dr Sarmedi Purba.
Sarmedi menegaskan tidak ada tanah adat di wilayah Kabupaten Simalungun. Menurut dia, adanya konflik akibat klaim sepihak atau pengakuan sekelompok warga yang mengatasnamakan masyarakat adat dan tanah adat dalam wilayah administratif Kabupaten Simalungun adalah murni kasus tindak pidana.
Sarmedi menjelaskan penduduk asli Simalungun berasal dari kelompok marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (SISADAPUR).
Masyarakat di kerajaan-kerajaan Simalungun tidak mengenal masyarakat adat karena penduduknya terdiri dari kelompok bangsawan (partuanon) dan masyarakat petani (paruma).
Sebelumnya, ada kelompok budak (jabolon) namun dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal penjajahan di awal abad ke-20.
Sejak kerajaan Simalungun pertama, Kerajaan Nagur yang sudah eksis sejak abad ke-8, tanah-tanah di Simalungun adalah tanah milik kerajaan yang kemudian terbagi menjadi 4 kerajaan (Raja Maropat), yaitu, Kerajaan Tanah Jawa, Dologsilou, Panei dan Siantar.
Setelah menjadi daerah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 menjadi 7 kerajaan (Raja Marpitu), ditambah Kerajaan Raya, Purba dan Silimakuta.
Sebelum Perang Dunia II (1939-1945) dan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, daerah di Kabupaten Simalungun berbentuk daerah pemerintahan otonomi Kerajaan yang disebut daerah Swapraja.
“Sekali lagi, kami ingin menegaskan bahwa tidak ada dan tidak dikenal istilah masyarakat adat dan tanah adat di Simalungun sejak abad ke-8 Masehi hingga zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada tanah adat di wilayah Kabupaten Simalungun, dari dahulu sampai sekarang,” tegas Sarmedi Purba.
Sarmedi Purba membeberkan benang merah dan sederet fakta-fakta sejarah Tanah Habonaron Do Bona.
Dia berharap semoga penjelasan dapat menjadi rujukan kebijakan pemerintah ke depan serta pemahaman terhadap kelompok lembaga sosial kemasyarakatan atau organisasi keagamaan.