REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Implementasi reforma agraria dianggap jalan untuk pengentasan kemiskinan dan mewujudkan swasembada pangan. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan sejumlah kementerian pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sepakat menandatangani kesepakatan untuk menyegerakan pelaksanaannya.
Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan Budiman Sudjatmiko mengatakan, prasyarat Indonesia beranjak menjadi negara maju adalah menyelesaikan konflik-konflik tanah di nusantara pasca kolonial.
Ia mencontohkan keberhasilan negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan. Menurutnya, reforma agraria perlu dijalankan dalam status darurat dan dipimpin langsung oleh presiden.
“Presiden Prabowo sudah memerintahkan agar upaya pengentasan kemiskinan ekstrim harus dilakukan dengan memberikan akses tanah kepada rakyat. Kalau perlu dengan Dekrit Presiden,” katanya seperti dikutip dari pernyataan Konsorsium Pembaruan Agraria, Rabu, (19/2/2025).
Budiman merupakan salah satu penandatangan kesepakatan yang ditandatangani di pembukaan Asia Land Forum. Proses penandatanganan ini disaksikan langsung oleh 500 lebih peserta dari 15 negara Asia.
Kesepakatan ini juga ditandangani Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Ossy Dermawan, FX Nugroho Setijo Nagoro mewakili Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Destri Anna Sari mewakili Menteri Koperasi.
Mewakili organisasi masyarakat sipil, kesepakatan ini juga ditandangani Sekretaris Jenderal Konsorsium Agraria Dewi Kartika, Erasmus Cahyadi mewakili Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Imam Hanafi dari Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Wahyubinatara Fernandez sebagai Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia, dan Maksum Syam sebagai Direktur Eksekutif Sajogyo Institute.
“Reforma agraria merupakan komponen utama dalam upaya negara menjamin hak atas tanah," kata Ossy saat membacakan sambutan Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid.
Ossy menambahkan melalui program reforma agraria, negara memastikan kepastian hak atas tanah melalui redistribusi tanah, dukungan akses pasca reforma agraria dan perbaikan lembaga pelaksananya. Untuk mewujudkan hal tersebut, tambahnya, Kementerian ATR/BPN perlu berkolaborasi antar kementerian dan semua pemangku kepentingan.
“Kunci utama dalam mencapai semua ini adalah menghilangkan ego sektoral antara kementerian/lembaga,” katanya.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan l, kerja sama semua pihak ini akan menjadi katalisator bagi pembangunan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia menegaskan, pemerintah perlu mengakui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), termasuk mendorong adanya Dekrit Presiden mengenai agenda reforma agraria. “Mengingat urgensi dan tingkat kedaruratan konflik agraria yang membutuhkan pendekatan dan strategi extra-ordinary,” kata Dewi.
Dewi mengatakan dalam jangka menengah, pemerintah perlu mengupayakan peta jalan yang lebih komprehensif dalam mencapai swasembada pangan yang sistematis. Selain itu, diharapkan dapat menjadikan reforma agraria sebagai indikator pencapaian swasembada pangan, menguatkan ketahanan pangan, menyelesaikan konflik agraria dan meningkatkan kesejahteraan.
“Penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria dan bagaimana ini dipimpin langsung oleh Presiden, termasuk mendorong dan mengesahkan UU reforma agraria, termasuk pengesahan masyarakat adat,” kata Dewi.