REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengusutan korupsi di PT Indofarma Tbk memasuki babak baru. Setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigatif kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Mei 2024 lalu, Kejaksaan Agung (Kejakgung), akhir pekan lalu melimpahkan penanganan kasus korupsi di bidang farmasi tersebut ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta untuk ditingkatkan ke penyidikan.
“Sudah dilimpahkan ke DKI (Kejati Jakarta). DKI yang tangani,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar, Jumat (13/9/2024).
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasie Penkum) Kejati DKI Jakarta Syahron Hasibuan, pun memastikan penanganan kasus tersebut, sudah ditingkatkan ke penyidikan. “Sudah dalam penyidikan. Apa nanti outputnya, masih kita tunggu,” begitu ujar Syahron.
Pada Mei 2024, BPK menyampaikan hasil laporannya tentang dugaan penyimpangan Rp.371,83 miliar di Indofarma. Wakil Ketua BPK Hendra Susanto, mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif, BPK menyimpulkan terdapat penyimpangan yang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp 371,834 miliar.
Dari dokumen yang beredar di kalangan media, dugaan korupsi di PT Indofarma Tbk terkait dengan 18 temuan dugaan korupsi di internal perusahaan tersebut, dan anak perusahaan, serta instansi terkait di Jawa Barat (Jabar), dan DKI Jakarta sepanjang 2000 sampai semester pertama 2023. Berdasarkan belasan temuan tersebut, 10 di antaranya mendesak PT Indofarma Tbk untuk melaporkan ke Kementerian BUMN agar menjadi bahan pelaporan penegakan hukum.
Salah satu di antara 10 temuan itu, ada temuan terkait penerimaan uang melalui fintech atau aplikasi peminjaman modal yang dilakukan PT IGM. Namun pada kegiatan peminjaman melalui aplikasi pinjaman online (pinjol) tersebut dilakukan bukan untuk kegiatan perusahaan. Sehingga disebutkan dalam dokumen tersebut, terindikasi fraud dan merugikan keuangan negara senilai Rp.1,26 miliar.
Temuan lainnya adalah pembelian dan penjualan rapid test panbio PT IGM yang dilakukan tanpa perencanaan. Sehingga berindikasi fraud dan merugikan negara Rp.56,7 miliar atas piutang macet PT Promedik.
Bukan hanya rapid test, ada juga kegiatan usaha masker oleh PT Indofarma Tbk yang dilakukan tanpa perencanaan. “Kegiatan usaha tersebut, dikatakan dalam terindikasi fraud dan berpotensi kerugian negara senilai Rp.2,67 miliar atas penurunan nilai persedian masker, serta berpotensi kerugian negara senilai Rp.60,24 miliar atas pitung macet PT Promedik dan senilai Rp.13,11 miliar atas sisa persedian masker,” begitu tertulis dalam dokumen tersebut.
Temuan lainnya di PT Indofarma Tbk, terkait dengan penjualan PCR Kit Covid-19 PT Indofarma Tbk pada periode 2020-2021 yang dilakukan tanpa perencanaan. “Dan berindikasi fraud dan berpotensi kerugian negara senilai Rp.5,98 miliar atas piutang macet PT Promedik dan senilai Rp.9,17 miliar atas tidak terjualnya PCR Kit Covid-19 yang kedaluwarsa,” begitu dalam dokumen tersebut. Sedangkan delapan temuan lainnya, terjadi di anak perusahaan PT Indofarma Global Medika (IGM).
Ada juga dengan pengeluaran dana pada bisnis unit FMCG PT IGM yang dikatakan terindikasi fraud dan merugikan negara senilai Rp 157,33 miliar. Juga terkait dengan penempatan dan pencairan simpanan berjangka beserta bunga PT IGM atas nama pribadi pada Koperasi Simpan Pinjam Nusantara. “Yang berindikasi fraud dan kerugian keuangan negara senilai Rp.35,07 miliar,” begitu dalam dokumen tersebut.
Selanjutnya, menyangkut penggandaan deposito milik PT IGM sebagai jaminan fasilitas kredit PT Promosindo Medika atau PT Promedik dan pembayaran bunga fasilitas kredit PT Promedik oleh PT IGM pada Bank Oke. “Yang berindikasi fraud dan kerugian keuangan negara senilai Rp.38,06 miliar.”
Temuan lainnya, terkait pengembalian uang muka dari PT Mitra Medika Utama yang tak masuk ke dalam rekening perusahaan PT IGM dan terindikasi fraud serta merugikan keuangan negara sebesar Rp.18 miliar.
Berikutnya menyangkut pengeluaran dana, dan pembebanan biaya PT IGM yang dilakukan tanpa didasari transaksi dan berindikasi fraud serta merugikan keuangan negara senilai Rp.24,35 miliar. Temuan selanjutnya juga terdapat pada kegiatan pelaksanaan kerjasama distribusi alat kesehatan (alkes) TeleCTG PT IGM dengan PT ZTI yang dilakukan tanpa adanya perencanaan. “Yang berindikasi fraud dan merugikan negara senilai Rp.4,5 miliar, serta Rp.10,43 miliar,” sambung dokumen tersebut.