Sabtu 14 Sep 2024 09:04 WIB

Akui Ada Bullying Dokter dan Minta Maaf, Undip Sekarang Diminta Perbaiki Diri!

Yang saat ini dinilai mendesak dan penting adalah komitmen untuk memperbaiki sistem.

Suasana Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/8/2024). Undip mengaku adanya bullying di PPDS dan telah meminta maaf kepada publik.
Foto: Republika/Kamran Dikarma
Suasana Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (15/8/2024). Undip mengaku adanya bullying di PPDS dan telah meminta maaf kepada publik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengapresiasi Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) dan manajemen RSUP Kariadi yang mengakui adanya kasus perundungan terhadap peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Yang saat ini dinilai mendesak dan penting adalah komitmen untuk memperbaiki sistem itu.

“Tidak menyangkal, lalu minta maaf merupakan tindakan yang positif dan berarti sudah ada niat untuk memperbaiki diri,” kata Edy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (13/9/2024).

Baca Juga

Dia berharap dengan adanya permintaan maaf ini, pihak-pihak terkait akan lebih fokus dalam memperbaiki sistem untuk mencegah perundungan. Edy menekankan, dalam pendidikan, utamanya pendidikan spesialistik harus mengutamakan aspek andragogi atau pendidikan untuk orang dewasa, dan menginginkan dalam pembelajaran tercipta suasana yang berdasar prinsip kemitraan, partisipatif, dan memberikan pengalaman nyata.

“Sehingga pembelajaran ini berlangsung menyenangkan tapi peserta didik dapat memperoleh ilmu dari senior atau konsulennya dengan baik. Bisa praktik dengan rasa aman,” ujarnya.

Edy juga meminta pihak lain untuk meniru langkah Undip dan RSUP Kariadi yang tidak menyangkal kondisi yang ada. Sehingga ketika ada laporan perundungan, kata dia, tidak mencari siapa yang salah, namun mengoreksi bagaimana sistem pengawasan dan pembelajaran yang selama ini berjalan.

Dia juga menyoroti rencana Kemendikbudristek untuk menerbitkan Permendikbudristek tentang pencegahan perundungan, sebab dalam pendidikan kedokteran maupun tenaga kesehatan, tidak hanya melibatkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Menurutnya, Kemenkes memang memiliki wewenang dalam rumah sakit, namun untuk pendidikannya juga melibatkan FK yang merupakan bagian dari kewenangan Kemendikbudristek. “Sekarang ada dua kementerian yang memberikan atensi. Ini tentu lebih baik untuk mencegah praktik perundungan itu terjadi lagi,” kata Edy.

Untuk jangka panjang, Edy mendesak pemerintah segera membentuk konsil dan kolegium. Edy menyebut bahwa kolegium nantinya yang menyusun standar kompetensi tenaga kesehatan dan tenaga medis, termasuk standar pendidikan.

Menurut Edy peran kolegium yang sesuai dengan UU Nomor 17/2024 tentang Kesehatan diperlukan. Kolegium, ujarnya, adalah yang memiliki tugas pokok dan tanggung jawab untuk menyusun standar pendidikan profesi, standar kompetensi profesi, lalu proses pembelajaran pendidikan profesi dan spesialis. Selain itu juga, katanya, penilaian atau uji kompetensi nasional pendidikan profesi dan spesialis.

Dia juga menyoroti soal sertifikasi pendidik di pendidikan profesi spesialis. Sering kali pendidik pada program spesialis adalah mereka yang mahir di klinis tapi tidak dibekali kemampuan sebagai pendidik. Dia mengatakan, pendidik pada program spesialis dari klinis yang tidak memiliki ketrampilan pendidikan akan mengajar sesuai pengalamannya.

“Dulu diajari sama seniornya dengan dibentak-bentak, maka ketika jadi pendidik maka cara itu yang dilakukan,” kata Edy.

Edy pun mengusulkan agar pendidik klinis harus memiliki sertifikasi. Artinya mereka harus belajar lagi teori pendidikan. Sebab kemampuan klinis saja belum cukup untuk melakukan transfer ilmu knowledge.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement