REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial-Politik (Fisip) Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman, mengungkapkan, persaingan ketat berpotensi terjadi dalam perhelatan pilkada di 23 kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng). Pilkada Kota Semarang termasuk salah satu di antaranya.
"Selain di Pilgub (Pemilihan Gubernur) Jawa Tengah, tingkat kompetisi yang tinggi atau ketat berpotensi terjadi 23 kabupaten/kota," ungkap Wahid, Jumat (30/8/2024).
Wahid mengatakan, selain Kota Semarang, beberapa kota/kabupaten lain di Jateng yang berpeluang menghadapi pilkada ketat adalah Kendal, Demak, Kudus, Kota Surakarta, Kota Magelang, Temanggung, Kota Salatiga, Jepara, Pati, Rembang, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Kota Tegal, dan Batang.
Wahid mengambil contoh pilkada di Kabupaten Kebumen. Terdapat dua pasangan calon yang bakal berkontestasi, yakni Arif Sugiyanto-Ristawati P dan Lilis Nuryani-Zaeni M. Pasangan Arif-Ristawati diusung PDIP, Golkar, PAN, PPP, Perindo, Partai Buruh, dan PBB. Sementara pasangan Lilis-Zaeni diusung PKB, NasDem, Gerindra, Demokrat, PSI, Gelora, dan Ummat.
"Secara dukungan partai, keduanya relatif berimbang. Sementara paslon penantang memiliki jaringan politik, modal sosial, dan modal finansial yang kuat sehingga pilkada di Kebumen akan berlangsung sengit," kata Wahid.
Menurut Wahid, terdapat beberapa variabel penentu tingkat kompetisi dalam pilkada di Jawa Tengah. Mereka antara lain jumlah pasangan calon, eksistensi petahana, mesin politik, modal sosial, dan dukungan finansial yang dimiliki para pasangan calon (paslon).
Terkait jumlah paslon, Wahid menyebut, semakin banyak paslon, persaingan pilkada kian ketat. "Namun demikian, meskipun hanya terdapat dua paslon, bukan berarti secara otomatis tingkat kompetisinya rendah. Polarisasi yang muncul karena dua calon dengan kekuatan berimbang akan memunculkan tingkat kompetisi tinggi," ucapnya.
Kemudian perihal eksistensi petahana, Wahid mengatakan tidak adanya petahana memberikan ruang terjadinya kompetisi berimbang. Kendati demikian, jika petahana kembali maju dan lawannya memiliki dukungan partai, jaringan politik, modal sosial, dan dukungan finansial besar, maka kontestasi berpotensi sengit. "Terlebih ketika pada saat yang sama, kinerja petahana tidak mampu meyakinkan masyarakat (tingkat kepuasan kinerja rendah)," ucap Wahid.
Wahid juga menyinggung tentang variabel mesin politik yang dalam hal ini terbagi menjadi dua sub yaitu dukungan partai dan jaringan politik. Dia menjelaskan, meski bukan menjadi variabel absolut terhadap keterpilihan kandidat, dukungan partai memiliki peran penting sebagai mesin politik. Pada kondisi tertentu, semakin banyak partai pendukung, semakin besar keterpilihan paslon.
Wahid mengatakan, jaringan di luar partai politik yang dimiliki akan membantu keterpilihan paslon. "Semakin banyak paslon dengan jaringan politik kuat dan masif, maka akan berpotensi menciptakan pilkada yang kompetitif," ujarnya.
Variabel terakhir yang diangkat Wahid dalam analisisnya adalah modal sosial dan dukungan finansial. Menurut dia, semakin banyak paslon yang memiliki modal sosial dan dukungan finansial yang kuat, hal itu akan semakin berpeluang memperketat kontestasi pilkada.