Jumat 16 Aug 2024 10:30 WIB
NIKMAT MERDEKA

Memangkas Ketimpangan Pendidikan

Diperlukan waktu untuk mewujudkan cita-cita dari gerakan Merdeka Belajar.

Rep: Bayu Adji Prihammanda/ Red: Mas Alamil Huda
Siswa menjemur kain batik saat belajar membatik shibori sebagai implementasi program merdeka belajar, di SD Negeri 1 Kayangan, Diwek, Jombang, Jawa Timur, Jumat (2/2/2024).
Foto:

Memangkas ketimpangan

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, ketimpangan antarkelompok sosial ekonomi itu sudah ada dan cukup besar di luar sistem pendidikan. Namun, ada juga dinamika terkait dengan kesetaraan, pemerataan, dan ketimpangan, di sistem pendidikan di Indonesia.

Ia menjelaskan, terdapat tiga pandangan terkait hubungan antara ketimpangan dan pendidikan. Pandangan pertama menyebutkan bahwa sekolah itu tidak banyak berdampak kepada pemerataan atau ketimpangan. "Jadi efek dari latar belakang murid, itu jauh lebih menentukan prestasi belajar seorang anak dibandingkan peran guru dan sekolah," kata dia.

Bahkan, ia menambahkan, ada pandangan yang menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya memproduksi, tapi justru memperparah ketimpangan. Alasannya, hanya anak dari kelas menengah ke atas yang mendapat manfaat dari sekolah. Sementara anak dari kalangan menengah dan bawah di sekolah tidak mendapatkan manfaat karena tidak siap.

Namun, Nino –sapaan akrab Anindito— mengatakan, belakangan ada pandangan optimistis, yang menyebutkan perubahan ketimpangan ketika anak di sekolah. Artinya, ketimpangan makin lebar ketika anak berada di luar sekolah. "Makin besar kaitan prestasi dengan latar belakang murid, makin timpang sebuah sistem pendidikan. Kalau ingin sistem pendidikan berkontribusi mengurangi ketimpangan, maka seharusnya tidak ada kaitan antara latar belakang murid dan prestasi," kata dia.

photo
Komik Si Calus : Sekolah - (Republika/Daan Yahya)

Menurut dia, yang memprediksi prestasi murid di sekolah seharusnya adalah hal-hal yang ada dalam kendali diri dan usahanya. Bukan berkaitan dengan latar belakang, seperti orang tua, pola asuh, dan lainnya. Namun, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa latar belakang sosial budaya itu memprediksi prestasi belajar. 

Artinya, kebanyakan sistem pendidikan atau sekolah belum mampu mengompensasi ketimpangan yang ada di luar sistem pendidikan. Namun, ketimpangan pendidikan bisa diupayakan agar berkurang. "Di Indonesia, kami punya data asesmen nasional sejak 2021. Di Indonesia, ada ketimpangan sosial ekonomi yang cukup besar. Namun, ketimpangan itu bukan antarmurid, tapi antarsekolah dan antardaerah," kata Nino.

Ia menilai, latar belakang murid di sekolah Indonesia tidak banyak berpengaruh pada prestasi belajar, dibanding negara lain. Namun, ketika seseorang masuk ke sekolah favorit cenderung akan menentukan prestasi belajar murid jauh lebih signifikan. "Ini kaitan dengan PPDB. Publik itu tahu ada ketimpangan luar biasa dalam hal mengakses sekolah berkualitas. Karena itu, kita bertarung untuk bisa memasukkan anaknya ke sekolah paling baik," kata dia.

Karena itu, Kemendikbudristek mengubah proses PPDB yang semula merujuk pada nilai, menjadi sistem zonasi, prestasi, dan afirmasi. Hal itu dinilai sudah bisa memangkas ketimpangan yang terjadi antarsekolah yang selama ini terjadi. "Kalau kita bandingkan data PISA 2015 dan 2022, sekarang variasi sosial ekonomi sebagian besar ada di dalam sekolah. Jadi keragaman sosial ekonomi terjadi di dalam sekolah. Antarsekolah menjadi lebih mirip. Kontribusi sosial ekonomi terhadap prestasi juga berkurang. Ini merupakan indikator meningkatnya keadilan dalam pendidikan," kata dia.

Nino menambahkan, Kemendikbudristek juga mengubah kurikulum dari semula sama rata menjadi kurikulum merdeka. Dampaknya, sekolah boleh dan harus mengkontekstualisasi kurikulum hingga jauh lebih relevan secara kultural maupun berdasarkan tingkat kemampuan murid yang dilayani.

Kendati demikian, Kemendikbudristek tetap membuat target yang sama untuk semua murid dan daerah. "Jadi caranya dibuat lebih fleksibel, tapi targetnya tidak dilunakkan. Karena kita percaya semua bisa mencapai kompetensi literasi numerasi yang baik, asalkan mereka diberi penguatan," kata dia.

Menurut Nino, sudah ada dampak dari implementasi merdeka belajar di sekolah seluruh Indonesia untuk SMA dalam hal literasi membaca. Ia menyatakan, sekolah yang menerapkan kurikulum merdeka belajar mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan yang masih menerapkan kurikulum 2013. "Ini di semua daerah, untuk daerah tertinggal maupun non tertinggal, untuk kelompok ekonomi atas, menengah, dan bawah, untuk sekolah yang tadinya prestasinya tinggi, rendah, dan sedang-sedang saja. Jadi untuk semua kelompok, semua jenis sekolah, merdeka belajar itu superior dibandingkan kebijakan sebelumnya," kata dia.

Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti menambahkan, angka lulusan vokasi yang terserap dunia industri juga terus mengalami peningkatan. Ia menyebutkan, makin banyak lulusan vokasi yang bekerja dalam satu tahun setelah lulus. "Artinya lulus, lebih banyak yang bekerja. Periode mencari kerja lebih rendah dan pendapatan lulusan makin banyak, apalagi mereka yang terlibat di program MBKM," kata dia.

Berdasarkan data yang disampaikan Kemendikbudristek, persentase peserta didik yang bekerja dalam satu tahun setelah lulus pada 2020 38,7 persen (SMK); 52,6 persen (Diploma I-IV); 58,2 persen (Universitas). Pada 2021, angkanya menjadi 32,1 persen (SMK); 50,2 persen (Diploma I-IV); 58,4 persen (Universitas). 2022, angkanya menjadi 35,4 persen (SMK); 58,3 persen (Diploma I-IV); 60,1 persen (Universitas). Sedangkan pada 2023, angkanya menjadi 38,4 persen (SMK); 58,6 persen (Diploma I-IV); 63,6 persen (Universitas).

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah (PR) dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Ia menilai, kurikulum itu belum saatnya untuk dijadikan kurikulum nasional. "Kelihatannya masih butuh satu periode lagi untuk kita bisa mengikuti Kurikulum Merdeka karena tipologi daerah yang berbeda-beda menerimanya," kata dia saat dihubungi Republika, Selasa (23/7/2024).

Menurut Dede, masih banyak pengajar atau guru yang belum siap untuk menerapkan Kurikulum Merdeka. Ia menilai, para guru itu umumnya masih kesulitan untuk beradaptasi untuk menyalurkan minat dan bakat murid yang diajar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement