Jumat 12 Jul 2024 21:27 WIB

Kejagung Tetapkan Kerugian Negara di BAP Kasus Timah Sebesar Rp 300 Triliun

Kejagung sebut hulu korupsi timah adalah penyimpangan pejabat dinas Pemprov Babel.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Joko Sadewo
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Agung Harli Siregar.
Foto: Antara/Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspe
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Agung Harli Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menebalkan angka kerugian negara dengan total Rp.300 triliun dalam berkas penyidikan para tersangka korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Provinsi Bangka Belitung. 

“Total kerugian negara yang diakibatkan dalam perkara tindak pidana korupsi dalam penambangan bijihtimah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk sebesar Rp 300.003.263.938.132. Nilai kerugian negara tersebut merupakan real loss,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar, Jumat (12/7/2024).

Angka kerugian sepanjang periode 2015-2022 itu, menurut Harli, paling banyak menyangkut soal kerusakan lingkungan sebesar Rp.271 triliun. Sedangkan kerugian negara yang bersumber dari pendapatan PT Timah Tbk itu sendiri, sebesar Rp 26,64 triliun.

Angka ini merupakan angka kerugian yang ada dalam berkas perkara para tersangka yang sudah dilimpahkan penyidik ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Harli menjelaskan, kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas penambangan bijihtimah ilegal itu, berasal dari perbuatan korupsi berulang-ulang yang terjadi sepanjang 2015-2022. Hulu dari praktik korupsi tersebut, berawal dari penyimpangan fungsi, dan peran sejumlah pejabat dinas enerji dan mineral di pemerintahan daerah di Provinsi Bangka Belitung. 

Penyimpangan tersebut, mulai dari penerimaan uang dari pihak-pihak swasta pelaku penambangan, pemurnian, dan pelogaman bijihtimah ilegal, sampai pada telaah Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) bodong yang disetujui. 

Selain itu, lanjutnya, ada juga penyimpangan berupa, sikap tanpa pengawasan, dan pemberian sanksi atas aktivitas-aktivitas perusahaan-perusahaan penambangan ilegal yang merusak ekosistem lingkungan. 

Dalam hal penerimaan uang, Harli mencontohkan, seperti yang dituduhkan terhadap tersangka Amir Syahbana (AS). Kabid Pertambangan Mineral dan Logam pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung itu, menerima pemberian uang Rp 325,9 juta. 

“Bahwa tersangka AS, bersama-sama tersangka (penyelenggara negara lainnya) SW, dan tersangka BN telah menerima uang pemberian, dan menerima sejumlah fasilitas-fasilitas lainnya dari pelaksanaan RKAB yang tidak sesuai dengan telaah tim evaluator,” begitu ujar Harli.

Hal serupa juga dilakukan tersangka Suranto Wibowo (SW), dan Rusbani (BN) selaku Kadis ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Januari 2015-Maret 2019, dan Kepala Dinas (Kadis) ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Maret 2019-Desember 2019 yang menyetujui RKAB palsu atas aktivitas penambangan, dan pemurnian bijihtimah oleh enam perusahaan swasta yang bekerjsasama dengan PT Timah Tbk sepanjang 2015-2019. Yakni PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), CV VIP, PT RBT, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), dan PT MCM. 

“Akibat dari perbuatan yang dilakukan tersangka SW bersama pihak-pihak perusahaan tersebut mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 2,284 triliun,” ujar Harli. 

Kerja sama enam smelter dengan PT Timah Tbk berdasarkan RKAB palsu tersebut, pun membuat BUMN Timah itu mengalami kerugian. Terutama akibat dari beban pembayaran yang harus dikeluarkan untuk membayar produksi bijihtimah yang diperoleh dari hasil penambangan ilegal di lokasi IUP PT Timah sendiri. “Nilai biaya yang dibayarkan oleh PT Timah Tbk yang menjadi kerugian negara adalah sebesar Rp 26,64 triliun,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement