Jumat 12 Jul 2024 11:32 WIB

Pejabat Daerah Ini Diduga Terima Rp 325,9 Juta dari Kasus Timah

Amir nekat bikin telaah staf untuk setujui RKAB perusahaan yang melakukan penambangan

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Joko Sadewo
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Agung Harli Siregar.
Foto: Antara/Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspe
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Agung Harli Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melimpahkan berkas perkara tiga pejabat daerah dalam kasus dugaan mega korupsi timah. Salah satu pejabat tersebut bahkan diduga menerima uang pelicin Rp 325,9 juta.

Tiga tersangka yang berkasnya dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, yaitu kabid Pertambangan Mineral Logam pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Mei 201-November 2021, Amir Syahbana (AS); Kepala Dinas (Kadis) ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Maret 2019-Desember 2019, Rusbani (BN): dan Kadis ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Januari 2015-Maret 2019, Suranto Wibowo  (SW). 

Tersangka yang diduga menerima uang ratusan juta itu, menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Harli Siregar, adalah AS. “Bahwa perbuatan tersangka AS yang mengabaikan kesimpulan Tim Evaluator karena telah menerima pemberian uang senelai Rp 325,9 juta dari tersangka Achmad Albani (GM Operasional CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan juga PT MCM),” begitu kata Harli.  

Dijelaskannya, tersangka AS, secara sepihak membuat telaah staf untuk persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2019-2020, untuk perusahaan swasta yang melakukan penambangan timah ilegal di lokasi IUP PT Timah Tbk. Adapun perusahaan itu adalah  PT Menara Cipta Mulia (MCM), PT Rajawali Nindya Persada (RNP0, PT Trimitra Bangka Utama (TBU), dan PT Bangka Tin Industry (BTI), serta PT Rafined Bangka Tin (RBT). 

Adapun penetapan BN sebagai tersangka, menurut Harli, karena selaku kadis ESDM tidak pernah meminta laporan tertulis atas RKAB tahunan milik perusahaan-perusahaan. Dan dalam kewenangan atas jabatannya, tersangka BN dikatakan, tak pernah melakukan  evaluasi,  pengawasan, serta pelaporan kepada level gubernur terkait dengan nihilnya laporan tertuis atas RKAB tahunan masing-masing perusahaan itu. 

Enam perusahaan yang dimaksud adalah, PT MCM, PT RBT, PT Artha Prima Nusa Jaya (APNJ), PT Prisma Multi Karya (PMK), PT Bumi Hero Perkasa (BHP), dan PT Fortuna Tunas Mulya (FTM). 

Sementara peran tersangka SW, menurut Harli, karena menyetujui RKAB 2015-2018 enam perusahaan pemurnian dan peleburan bijihtimah. Padahal SW mengetahui bahwa RKAB enam perusahaan tersebut, tidak benar. Ada dugaan SW telah menerima fasilitas berupa penginapan hotel dan transportasi, serta uang saku dari PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).

Enam perusahaan smelter yang RKAB bodongnya disetujui SW, adalah PT RBT, PT SIP, dan PT MCM, PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT TIN, serta CV VIP. 

RKAB bodong enam perusahaan tersebut berimbas pada kerugian yang dialami oleh PT Timah Tbk. Karena melalui RKAB tersebut, masing-masing perusahaan melakukan aktivitas penambangan timah di lokasi IUP PT Timah Tbk, dan melakukan peleburan, pemurnian, serta pelogaman atas hasil penambangan yang semestinya menjadi milik PT Timah Tbk. 

“Sehingga atas perbuatan tersebut negara melalui PT Timah Tbk dirugikan sebesar Rp 2,28 triliun sepanjang 2015-2022,” ungkap Harli.

Nilai kerugian tersebut, bagian dari angka kerugian negara dari korupsi penambangan timah ilegal di lokasi IUP PT Timah Tbk sepanjang 2015-2022 yang totalnya mencapai Rp 300 triliun. Jumlah tersebut, juga termasuk penghitungan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan timah ilegal yang nilainya mencapai Rp 271 triliun dalam periode yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement