REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang kembali menyampaikan sejumlah kejanggalan kematian anak Afif Maulana alias AM (13 tahun) di Sumatera Barat (Sumbar). Direktur LBH Padang Indira Suryani mengungkapkan, sedikitnya ada empat keanehan yang menguatkan tentang kematian tak wajar yang dialami pelajar SMP Muhammadiyah-5 Kota Padang itu.
Indira meyakini, kematian tak wajar anak AM tersebut diduga akibat kekerasan, dan penyiksaan yang dilakukan anggota Sabhara Polda Sumbar pada saat melakukan pencegahan dugaan tawuran, pada Ahad (9/6/2024) lalu. “Ada beberapa fakta yang kami dapatkan, pada saat kami menangani kasus kematian anak AM ini. Kami memulai dengan pertanyaan awal kenapa kami sangat meyakini ada penyiksaan yang dialami anak AM,” begitu kata Indira saat konferensi pers LBH Padang bersama Yayasan LBH Indonesia di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Kata Indira, dugaan kekerasan, dan penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian itu, bukan cuma dialami oleh anak AM. Tetapi juga dialami oleh kawan-kawan anak AM, yang juga turut ditangkap dalam aksi pencegahan dugaan tawuran pada subuh hari itu. “Kami melihat bahwa yang meyakinkan salah-satunya terjadinya penyiksaan itu memang dari foto-foto yang diterima keluarga tentang kondisi jasad korban,: ujar Indira. Kata Indira, dari foto-foto tersebut terlihat adanya trauma pada jasad anak AM.
“Trauma luka-luka itu ada di sebelah kiri. Mulai dari pinggangnya, belakangnya, dan kemudian bagian depannya, dan ini kemudian teridentifikasi dari foto yang kami temukan dan itu juga ditemukan oleh keluarga,” begitu kata Indira. “Setelah kami temukan trauma-trauma kekerasan itu, yang membuat kami yakin bahwa anak AM, dan juga kawan-kawannya disiksa,” ujar Indira. Kejanggalan juga ditemukan pada saat LBH Padang menghimpun informasi tentang posisi mayat anak AM saat ditemukan oleh warga di aliran sungai Jembatan Kuranji.
“Pada saat ditemukan, mayat anak AM dengan kondisi telentang dengan wajah muka menghadap ke atas. Dengan posisi bagian tangan terangkat-terbuka dengan tapak tangan mengepal,” begitu kata Indira. Kata Indira dari pengecekan langsung oleh LBH Padang pada saat jenazah anak ditemukan kondisi permukaan air sungai hanya sedalam sekitar 50-an sentimeter di bawah betis orang dewasa. “Dan ketika kami melihat ketinggian jembatan ke bawah, sekitar 20 meter, dan kami memperkirakan kalau dikatakan dia (anak AM) melompat, atau terpeleset, atau dia jatuh dari atas jembatan, maka kondisinya akan lebih remuk,” begitu kata Indira.
Adapun fakta lain yang LBH Padang dapatkan adalah tentang kondisi pada tubuh korban lainnya yang ditangkap bersama anak AM. Kata Indira, kejadian di Jembatan Kuranji itu, berawal dari penangkapan sejumlah anak-anak dan remaja yang dilakukan oleh patroli Sabhara Polda Sumbar pada Ahad (9/6/2024) subuh, atau sekitar pukul 03:30 WIB. Dari patroli itu, kepolisian menduga akan terjadinya tawuran antarpelajar. Dan dikatakan untuk mengantisipasi tawuran, kepolisian menangkap belasan anak-anak dan remaja.
Kata Indira, LBH Padang mewawancarai tujuh anak-anak dan remaja yang ditangkap itu. “Tujuh orang tersebut, lima di antaranya adalah anak-anak. Dan dua di antaranya kategori dewasa,” begitu ujar Indira. Kata dia, pada saat tim dari LBH Padang mewawancarai ketujuh yang ditangkap itu, tampak fisik tubuh anak-anak dan remaja tersebut, sudah ‘dilumuri’ dengan luka-luka. “Kami menemukan tanda-tanda kekerasan di dalam tubuh mereka. Ada yang bekas sulut rokok, ada yang bekas dilecut dengan rotan, dan ada bekas tendangan. Dan kami mengklarifikasi semua cerita yang mereka alami,” begitu ujar Indira.
Menurut Indira, bekas-bekas luka yang dialami oleh tujuh anak-anak dan remaja itu membuka kesimpulan bahwa luka-luka lebam yang ada pada jasad anak AM adalah akibat tindakan kekerasan yang sama. Pun, kata Indira, LBH Padang, selama menjadi lembaga pendampingan hukum terhadap masyarakat, kerap menemui korban-korban kekerasan yang selama ini juga dilakukan oleh kepolisian. Dan tindakan-tindakan kekerasan oleh personel kepolisian dalam memproses orang-orang berperkara pidana, sudah menjadi pembiaran selama ini.
Selanjutnya, Indira mengungkapkan, temuan-temuan lain terkait dugaan menetralisir keadaan yang dilakukan kepolisian untuk menggeser perilaku kekerasan, menjadi suatu peristiwa yang lumrah. Seperti kata Indira, fakta dari keluarga anak AM yang mengaku diminta oleh anggota-anggota kepolisian untuk mengikhlaskan kematian anak AM. Bentuk pembujukan agar ikhlas tersebut, mulai dari desakan untuk menandatangani perjanjian untuk tak melakukan penuntutan terhadap kepolisian. Sampai pada larangan otopsi, sampai pada permintaan kepolisian untuk langsung memakamkan jenazah anak AM.
Indira menceritakan, saat pihak keluarga anak AM datang ke Polsek Kuranji untuk melihat, dan membawa jenazah anak AM, pihak kepolisian menyodorkan dokumen. “Keluarga diminta kemudian menandatangani surat tidak menuntut apa-apa. Dan itu sudah menjadi modus untuk mengaburkan peristiwa kekerasan dan penyiksaan yang kami yakini menjadi sebab anak AM meninggal dunia,” begitu kata Indira. Dia tidak mengatakan apakah keluarga setuju dengan menandatangani surat ‘tak menuntut’ itu.
Akan tetapi, kata Indira, dalam surat tersebut, pun ada klausul yang menyatakan agar keluarga setuju mengakui tewasnya anak AM lantaran terlibat kenakalan remaja. “Kami temukan juga pihak keluarga yang diminta menyatakan, anaknya itu adalah pelaku tawuran. ‘Ini meninggal karena tawuran’, sejak awal sudah diframing untuk seperti itu. Dan diminta untuk jangan (kasus kematian anak AM) diangkat, karena disebutkan oleh kepolisian kepada keluarga, bahwa ini aib,” begitu ujar Indira.
Lihat postingan ini di Instagram
Masih di Polsek Kuranji, kata Indira, pihak keluarga anak AM, pun saat mengambil jenazah anak AM diminta untuk tak melakukan otopsi. “Lalu disampaikan kepada keluarga, agar jangan melakukan otopsi. Karena alasan aib bagi keluarga yang disampaikan tadi, karena anaknya pelaku tawuran,” begitu ujar Indira. Namun kata Indira, pihak keluarga anak AM yang didampingi oleh LBH Padang, setuju untuk ‘ingkar’ atas permintaan kepolisian tersebut, dengan memaksa melakukan otopsi. Pun, dengan keputusan pihak keluarga itu, masih ada bentuk penghalang-halangan lanjutan yang dilakukan oleh kepolisian.
Kata Indira, keputusan melakukan otopsi itu, disambut oleh kepolisian dengan menyarankan kepada pihak keluarga, agar jenazah anak AM diotopsi di RS Bhayangkara. Padahal, kata Indira, semula pihak keluarga merencanakan untuk otopsi di RS Djamil. “Ketika sudah sepakat untuk otopsi, diminta untuk melakukannya di RS Bhayangkara, dengan alasan di RS Djamil berbayar. Makanya, keluarga memilih untuk menerima untuk otopsi ke RS Kepolisian,” begitu ujar Indira. Pun pada saat otopsi dilakukan, pihak keluarga juga dilarang turut mendampingi.
“Setelah diotopsi, keluarga dilarang untuk memandikan, dan mengafani jenazah. Jadi keluarga meminta pihak rumah sakit yang memandikan, dan mengafani. Dan pihak keluarga cuma ditinggalkan wajahnya (anak AM) yang boleh dilihat,” begitu ujar Indira. Bahkan, kata Indira, keluarga dilarang mendokumentasikan, atau mengambil foto-foto usai jasad anak AM sebelum dimakamkan. “Dari yang dijelaskan tadi, membuat kami (LBH Padang) sangat yakin, kematian anak AM ini, adalah korban penyiksaan,” begitu ujar Indira.
Hasil otopsi... baca halaman selanjutnya