Selasa 02 Jul 2024 15:33 WIB

Empat Alasan Mengapa Negara Arab Diam Saja Saat Gaza Dibombardir Menurut Profesor Turki

Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa negara Arab banyak diam.

Rep: Teguh/ Red: Teguh Firmansyah
Warga Palestina tiba di kota Khan Younis di Gaza Selatan setelah melarikan diri dari serangan darat dan udara Israel di area Rafah, Jumat (28/6/2024).
Foto: AP Photo/Jehad Alshrafi
Warga Palestina tiba di kota Khan Younis di Gaza Selatan setelah melarikan diri dari serangan darat dan udara Israel di area Rafah, Jumat (28/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan demi serangan tak henti dilancarkan Israel ke Jalur Gaza. Serangan itu membuat korban dari warga sipil berjatuhan. Lebih dari 37 ribu warga Palestina gugur dalam serangan yang dilancarkan oleh Zionis, baik melalui jalur darat dan Udara.

Gempuran dari Israel, tidak membuat pejuang Palestina menyerah. Dengan sekuat tenaga, mereka menghalau serangan bertubi-tubi tantara Zionis.

Baca Juga

BACA JUGA: Baca Surah Al-Waqiah Membuka Pintu Rezeki Padahal Artinya Hari Kiamat, Kok Bisa?

Di media sosial, muncul banyak pertanyaan, mengapa negara-negara Arab tidak membantu Ketika saudara mereka di Palestina diserang habis-habisan.

Muhittin Ataman seorang professor di Departemen Hubungan Internasional di Ilmu Sosial Universitas Ankara pernah menganalisa mengapa negara Arab tidak membantu Palestina. Dalam kolom di laman Daily Sabah dia pernah melontarkan alasannya.

Faktor penting pertama, kata ia, adalah perubahan identitas masyarakat Arab. Secara tradisional, masyarakat Arab terbiasa menikmati empat identitas politik yang saling melengkapi dan bersaing.

Dari yang paling sempit sampai yang paling komprehensif, yaitu baladiyyah (identitas lokal atau sub-nasional), wataniyyah (identitas nasional, tingkat negara bagian), qawmiyyah (identitas etnis atau pan-Arab berskala besar), dan diniyyah (identitas agama atau Islam). 

Meskipun relevansinya berubah dari waktu ke waktu, semuanya relevan bagi hampir seluruh masyarakat Arab. Identitas Pan-Arab dan Islam lebih dominan secara politik. Kebanyakan orang Arab tertarik pada isu-isu Arab dan Islam.

Perjuangan Palestina, baik isu Arab maupun Islam, merupakan inti dari kedua identitas ini. Namun, relevansi identitas-identitas ini sebagian besar telah berubah setelah terjadinya pemberontakan dan revolusi Arab pada 2011.

Pentingnya dua identitas terakhir (pan-Arab dan Islam) telah menurun secara dramatis dan digantikan oleh identitas nasional (tingkat negara bagian) dan sub-nasional. 

Alasan terpenting kedua adalah adanya penindasan terhadap lembaga-lembaga sipil Arab yang terorganisir. Seperti diketahui, gerakan dan aktor sosio-politik yang paling efektif selama pemberontakan dan revolusi Arab adalah organisasi-organisasi Islam arus utama.

Sebut saja Ikhwanul Muslimin, yang merupakan lembaga masyarakat sipil terorganisir dan berorientasi Islam terbesar di dunia Arab. IM merupakan salah satu pembawa utama revolusi dan perubahan demokratis di kawasan. Mereka berkuasa di beberapa negara Arab setelah pemilihan umum demokratis yang bebas.

Baca artikel, https://www.dailysabah.com/opinion/columns/why-arabs-do-not-support-palestine

Namun, meski meniadakan penggunaan kekerasan, Ikhwanul Muslimin, bersama dengan Hamas, dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh rezim Mesir dan beberapa negara Arab lainnya pada 2014.

Sayangnya, saat ini, tidak ada masyarakat terorganisir yang kuat di dunia Arab yang dapat bereaksi terhadap tindakan tersebut. kekejaman Israel terhadap masyarakat Arab Muslim.

Halaman selanjutnya...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement