Selasa 25 Jun 2024 15:09 WIB

Konflik Laut China Selatan, Pesan China ke Filipina: Setop Provokasi

Filipina dinilai lakukan provokasi dalam konflik Laut China Selatan

Landasan terbang buatan China terlihat di samping bangunan di pulau buatan di Mischief Reef di gugusan pulau Spratlys di Laut China Selatan terlihat pada Ahad.
Foto: AP Photo/Aaron Favila
Landasan terbang buatan China terlihat di samping bangunan di pulau buatan di Mischief Reef di gugusan pulau Spratlys di Laut China Selatan terlihat pada Ahad.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING— Kementerian Luar Negeri China kembali meminta agar Filipina berhenti melakukan provokasi pasca insiden terakhir di Laut China Selatan diikuti pernyataan Presiden Ferdinand Marcos yang menyebut negaranya tidak akan terintimidasi oleh siapa pun.

"Pesan kami kepada Filipina sangat jelas, berhenti melanggar hak-hak China, berhenti melakukan provokasi dan berhenti menyesatkan dunia," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing pada Senin (24/6/2024)

Baca Juga

Pada Senin (17/6/2024), terjadi insiden antara Angkatan Laut Filipina dan Garda Penjaga Pantai China di sekitar pulau karang yang disebut China dengan nama "Ren'ai Jiao", sedangkan oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" sebagai bagian dari Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lain.

Seorang pelaut Filipina kehilangan ibu jarinya dalam bentrokan tersebut. Manila juga menuduh para penjaga pantai China menggunakan pisau, tongkat dan kapak serta mencuri atau merusak peralatan di kapal mereka, termasuk senjata dan perahu karet.

Menyusul bentrokan itu, pada Ahad (23/6/2024), Presiden Ferdinand Marcos di markas besar pasukan Filipina di Puerto Princesa, Pulau Palawan, wilayah daratan terdekat dengan perairan dangkal tersebut mengatakan "kami tidak akan pernah terintimidasi atau ditindas oleh siapa pun".

"Kami telah berkali-kali menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana posisi kami. Jika Filipina benar-benar ingin bertindak sesuai dengan hukum internasional, pertama-tama Filipina harus mematuhi perjanjian yang mendefinisikan wilayahnya, termasuk Perjanjian Damai tahun 1898 antara Amerika Serikat dan Kerajaan Spanyol, dan mematuhi Declaration of Conduct (DOC)," tambah Mao Ning.

Saat berada di Pulau Palawan, Marcos juga mengatakan bahwa Filipina Filipina tidak akan memulai konflik terbuka ataupun menyerah kepada tekanan asing serta tidak akan menggunakan kekerasan atau intimidasi di perairan yang disengketakan.

Marcos pun memberikan medali kepada 80 pelaut yang berpartisipasi dalam misi pasokan, mendorong mereka untuk "terus menjalankan tugas membela negara" meskipun ia mengakui situasinya semakin "berbahaya".

Selanjutnya, Mao Ning menegaskan Ren'ai Jiao adalah bagian dari Nansha Qundao milik China.

"Ren'ai Jiao adalah wilayah China. Filipina harus berhenti melakukan provokasi dan pelanggaran terhadap kedaulatan China, kembali ke jalur yang benar dalam menyelesaikan perbedaan maritim dengan baik melalui negosiasi dan konsultasi sesegera mungkin dan bekerja sama dengan China untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," ungkap Mao Ning.

Ren'ai Jiao terletak sekitar 200 kilometer dari Pualu Palawan dan lebih dari 1.000 kilometer dari daratan utama terdekat China, yaitu Pulau Hainan.

Pemerintah China mengklaim memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas kepulauan yang disebut "Nanhai Zhudao" di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan area Tepi Macclesfield.

Sejak 1999, Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang Ren'ai Jiao dan mengirim orang untuk mengisi perbekalan di markas terapung tersebut.

Laut China Selatan hingga saat ini masih menjadi titik panas permasalahan di kawasan karena China mengklaim hampir seluruh perairan di Laut China Selatan. Negara-negara anggota ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina juga mengklaim wilayah tersebut.

Terbaru, pemerintah China memberlakukan aturan baru operasi mereka di Laut China Selatan. Berdasarkan pedoman baru itu, China bisa menahan tersangka pelanggar hingga 60 hari.

Undang-undang yang sudah diterbitkan sejak 2021 itu mengatur soal izin bagi penjaga pantai China yang dapat menembaki kapal asing, menghancurkan bangunan negara lain yang didirikan di atas terumbu karang yang diklaim milik China dan hak untuk memeriksa kapal asing di perairan yang disebut kepemilikan China.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement