Rabu 05 Jun 2024 00:07 WIB

Mantan Kepala BAIS TNI: Aneh Jika Densus Penguntit Jampidsus tak Disanksi

Sampai saat ini Polri masih enggan menjelaskan motif penguntitan tersebut.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Jampidsus Febrie Adriansyah memberikan keterangan pers terkait Penyampaian Hasil Perhitungan Kerugian Negara (PKN) dalam Penyidikan Perkara Timah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (29/5/2024). Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mengungkapkan, nilai kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022, mencapai Rp 300 triliun. Angka tersebut terungkap setelah Kejaksaan Agung mendapat hasil penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Foto:

Ponto semakin bingung dengan sikap Polri yang tak memberikan sanksi apapun terhadap satupun personel kepolisian yang diduga juga berasal dari Densus 88 dalam aksi menyatroni kompleks Kejaksaan Agung (Kejakgung), Senin (20/5/2024) malam.

Ponto berpendapat aksi seperti intimidasi, dan pamer kekuatan dengan pengerahan puluhan anggota berseragam hitam-hitam, bersenjata laras panjang, dengan motor trail, serta membawa kendaraan taktis lapis baja itu, seperti menjadi aksi yang legal, dan dibolehkan oleh intitusi Polri terhadap lembaga penegak hukum lainnya. 

“Dan itu dilakukan terhadap institusi penegak hukum lain, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Kalau seperti itu dibenarkan, dan dibiarkan begitu saja, tidak ada diberikan sanksi apapun kepada anggotanya, wah, jadi negara macam apa kita ini?"

"Kalau itu resmi, apakah Polri boleh mengerahkan pasukan bersenjata, bawa kendaraan tempurnya ngoeng-ngoeng (sirine) seperti itu melakukan intimidasi di institusi penegak hukum lainnya seperti itu? Kalau seperti itu dibolehkan, bagaimana kepolisian kita ini? Sangat buruk sekali,” kata Ponto menambahkan.

Sampai saat ini, pun kata Ponto, meskipun Polri sudah mengakui adanya anggota Densus 88 yang melakukan penguntitan terhadap Jampidsus dan personel antiterorisme itu sempat ditangkap, namun Polri tetap menolak menjelaskan motif dari penguntitan oleh skuat antiteror tersebut.

Padahal, kata Ponto, Bripda IM yang ditangkap diakui Polri sudah diperiksa oleh Divisi Propam setelah dikembalikan oleh Kejakgung.

Menurut Ponto, semestinya Polri menjelaskan maksud-tujuan penguntitan Densus 88 terhadap pejabat tinggi di Kejakgung itu. Penjelasan Polri tetap mengacu hasil pemeriksaan Bripda IM di Propam Polri. Jika dari pemeriksaan Propam Polri memang ditemukan pelanggaran, semestinya sanksi dijatuhkan.

Karena melihat pelaku penguntitan anggota Densus 88, dan target penguntitan adalah pejabat tinggi di Kejakgung yang bukan bagian dari target operasi, maupun tugas pokok dari skuat antiterorisme di kepolisian. Maka menurut Ponto, situasi tersebut sudah merupakan pelanggaran.

 “Apalagi ini sudah diketahui masyarakat, bahwa yang memberikan perintah terhadap anggota Densus (88) ini adalah seorang Kombes (Komisaris Besar) tanpa melalui perintah resmi. Apakah boleh seperti itu dilakukan di kepolisian, dan tidak diberikan sanksi apa-apa? Menurut saya, ini sangat salah sekali kepolisian kita ini,” kata Ponto.

Dia mengingatkan, tugas dan kewenangan Polri dalam mengayomi masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan umum, serta fungsi penegakan hukum yang harus diperbaiki dari internal kepolisian sendiri. “Jangan sampai kepolisian kita, khususnya Densus 88 ini digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di internalnya sendiri, maupun dari pihak-pihak luar,” kata Ponto.

Bripda IM diketahui sebagai anggota Densus 88 yang ditangkap POM pengawal Jampidsus Febrie Adriansyah saat melakukan penguntitan dan pembuntutan. Aksi memata-matai tersebut ketahuan saat Jampidsus melakukan aktivitas pribadi makan malam di restoran Gotran Cherrier Cipete, di Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis 16 Mei 2024 sekitar pukul 20:45 WIB. Militer yang melakukan pengawalan melekat terhadap Jampidsus membiarkan lima personel Densus 88 penguntit lainnya kabur.

Perlu 14 hari bagi Kejakgung, dan Polri mengakui terjadinya peristiwa tersebut. Selama menunggu pernyataan resmi dari kedua lembaga penegak hukum itu situasi menegangkan yang melibatkan Kejakgung dan Polri terjadi berturut-turut.

Mulai dari aksi pamer kekuatan, dengan melakukan konvoi bersenjata di luar kompleks Kejakgung di Jalan Bulungan-Hasanuddin, dan Jalan Panglima Polim-Blok M oleh satuan berseragam hitam-hitam dengan membawa laras panjang, dan kendaraan trail, serta taktis lapis baja, Senin (20/5/2024) malam, juga Kamis (23/5/2024) malam.

Juga aksi lanjutan berupa pengintaian melalui drone di atas Gedung Kartika tempat Jampidsus berkantor di Kejakgung, Selasa (21/5/2024). Personel pengamanan dalam (Pamdal) Kejakgung, disiap-siagakan mengantisipasi risiko dengan diwajibkan menggunakan rompi antipeluru saat bertugas di kompleks Kejakgung. 

Sejak Selasa (21/5/2024), Kejakgung memperkuat pengamanan dalam kompleksnya dengan meminta bantuan personel tambahan militer dari satuan POM Angkatan Laut (AL). Bersama Angkatan Darat (AD) baret hitam, dan POM Angkatan Udara (AU), personel militer itu melakukan patroli rutin pada malam hari di kawasan Kejakgung.

Baru Rabu (29/5/2024) Kejakgung menerangkan resmi soal penguntitan Densus 88, dan penangkapan oleh militer pengawal Jampidsus tersebut. Dan Kamis (30/5/2024), Mabes Polri mengikuti langkah serupa dengan mengakui adanya penguntitan, dan penangkapan anggota Densus 88 oleh militer pengawalan Jampidsus.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement