Sabtu 01 Jun 2024 10:25 WIB

Pengamat: Pengadilan Semestinya tak Terlibat Proses Politik Elektoral

Pengamat menilai jika ingin perubahan seharusnya untuk pemilu ke depan.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai pengadilan seharusnya membatasi diri untuk terlibat dalam proses politik elektoral.

Hal itu menanggapi Mahkamah Agung (MA) yang baru saja mengabulkan permohonan Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) terkait minimal batasan usia kepala daerah.
 
Ketika dihubungi di Jakarta, Jumat, ia menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman pengadilan di Amerika, pengadilan seharusnya menghindari diri untuk terlibat dalam proses pengujian peraturan yang akan mengubah aturan Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
 
"Hal ini disebut dengan The Purcell Principle," kata dia.
 
Menurutnya, apabila ingin dilakukan perubahan terhadap aturan pemilu/pilkada, keputusannya harus diterapkan untuk pemilu berikutnya dan bukan ketika proses pemilihan sedang berlangsung.
 
Ia mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan ambang batas parlemen empat persen. Diketahui, meski putusan itu dikeluarkan pada 2024, namun penerapannya diberlakukan pada Pemilu 2029.
 
"Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan penghapusan atau penurunan ambang batas parlemen sudah tepat karena tidak diberlakukan terhadap Pemilu 2024, tetapi Pemilu 2029," ucap dia.
 
Diketahui, MA dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016.

Baca Juga

Adapun Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang digugat oleh Partai Garuda berbunyi, “... berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.”
 
Sementara itu, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi, “... berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota.”
 
Pada pertimbangannya, MA menilai bahwa KPU tidak konsisten untuk mengatur waktu penghitungan syarat umur calon kepala daerah. Dalam hal ini, MA membandingkan aturan pada PKPU Nomor 13 Tahun 2010 yang menghitung syarat umur calon kepala daerah sejak pendaftaran pencalonan.
 
Menurut MA, inkonsistensi itu dapat menimbulkan ketidakadilan bagi warga negara yang ingin mencalonkan diri dan partai politik yang akan mencalonkan kandidat-nya.

MA juga menyandingkan persyaratan umur calon kepala daerah dengan syarat umur jabatan lain di pemerintahan yang dihitung sejak pelantikan.

Sebab itu, MA menyatakan bahwa pasal dalam PKPU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “... berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pasangan calon terpilih”.
 
Pada akhir putusan-nya, MA juga memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement