REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menilai dalam upaya menyambut Indonesia Emas 2045 untuk menuju bangsa yang cerdas, pendidikan hingga tingkat SMA/SMK saja tidak cukup untuk dapat bersaing secara global.
"Anak bangsa Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan perguruan tinggi secara luas dan merata," kata Guspardi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (20/5/2024).
Hal itu disampaikan-nya merespons pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang mengklasifikasi perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier, sehingga hanya merupakan pilihan.
"Terus terang saya sedih dan prihatin dengan pernyataan Bu Sesditjen Kemendikbudristek karena jelas akan melukai perasaan anak bangsa dan mereduksi keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi, pernyataan tersebut dilontarkan untuk menanggapi protes mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi yang mengeluhkan kenaikan biaya uang kuliah tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang naik secara drastis dan tiba-tiba," tuturnya.
Menurut dia, selaku wakil pemerintah yang mengemban tugas sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek maka semestinya harus mendorong bagaimana agar anak bangsa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
"Ini malah melontarkan pernyataan diskriminatif seolah pendidikan tinggi itu hanya diperuntukkan bagi kaum yang kaya saja," ujarnya.
Dia menilai bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk memenuhi hak pendidikan seluruh warga negara Indonesia karena pendidikan adalah menyangkut hajat hidup orang banyak, serta kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi.
"Bukankah pembukaan UUD 1945 alinea 4 secara jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ucapnya.
Ditambah lagi, lanjut dia, Pasal 28 ayat C UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Untuk itu, dia meminta agar pernyataan soal pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier harus dicabut oleh yang bersangkutan, karena berpotensi menegaskan anggapan publik bahwa perguruan tinggi hanya untuk kalangan yang mampu saja.
Dia mengingatkan pula agar pejabat publik yang menangani persoalan perguruan tinggi tidak sembrono mengeluarkan pernyataan yang akan mengundang protes dan menimbulkan polemik.
"Jangan pula timbul persepsi bahwa Kemendikbudristek seolah lepas tangan dari ketidakmampuannya dalam tata kelola dan sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa secara berkeadilan," kata anggota Badan Legislasi DPR RI tersebut.
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan bahwa perguruan tinggi masuk klasifikasi sebagai pendidikan tersier.
"Pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," kata Tjitjik dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (15/5).
Dia menyebut perguruan tinggi tidak seperti program wajib belajar 12 tahun yang mencakup SD, SMP, dan SMA sebab merupakan pilihan.
"Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," kata dia.
Adapun pemerintah telah mengatur bahwa di setiap perguruan tinggi negeri (PTN) wajib ada UKT golongan satu dan UKT golongan dua minimal sebanyak 20 persen untuk menjamin masyarakat yang tidak mampu tetap mendapat mengakses pendidikan tinggi berkualitas.