REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan, pernyataan soal pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier memperlihatkan Kemendikbudristek nirempati. Di mana, hal itu dikatakan ketika kondisi ekonomi masyarakat sulit.
"Sebelum menyinggung ranah yang substantif, saya rasa pernyataan Kemendikbudristek ini nirempati," ucap Ketua BEM KM UGM Nugroho Prasetyo Aditama kepada Republika, Ahad (19/5/2025).
Nugroho mengatakan, masyarakat tentu merasa tercekik saat kondisi ekonomi melarat. Ditambah lagi akses terhadap pendidikan dipersempit melalui kebijakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN).
"Faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan menurun dari 5 persen menjadi 4,9 persen menurut World Bank," jelas dia.
Di sisi lain, kata dia berbagai PTN justru meningkatkan biaya pendidikannya. Termasuk di dalamnya UGM yang menaikkan UKT seluruh prodinya rata-rata sebesar Rp 600 ribu atau naik sebesar 8,45 persen dari sebelumnya pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2024.
Dia juga mengatakan, BEM KM UGM juga merasa pernyataan dari Kemendikbudristek terkesan mengaburkan kegagalan negara dalam menyediakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Di mana hal itu dilakukan dengan mencoba menormalisasi sulitnya akses untuk pendidikan tinggi itu sendiri.
"Ini sungguh ironis. Negara wajib menyediakan pendidikan sebagai hak untuk masyarakat, pendidikan yang terbuka, terjangkau, dan berkualitas," jelas dia.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan, tidak semua lulusan sekolah lanjut tingkat atas (SLTA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) wajib masuk ke perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi termasuk ke dalam tertiary education atau edukasi tersier, bukan wajib belajar.
“Pendidikan tinggi ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Tjitjik Srie Tjahjandarie di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Tjitjik mengatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan wajib belajar, yakni pendidikan tingkat sekolah dasar hingga SLTA/SMK. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Sebab, kata dia, hal itu adalah amanat undang-undang.
“Bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” terang dia.
Dia menjelaskan, idealnya, jumlah BOPTN yang diberikan itu sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi itu akan gratis. Tetapi, yang jadi persoalan adalah dana pendidikan Indonesia yang tidak mencukupi.
“Karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Nah, selama ini, bantuan BOPTN ke perguruan tinggi itu belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidik,” kata dia.
Karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat atau gotong-royong untuk mendidik bangsa in. Menurut dia, gotong royong diperlukan agar masyarakat bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan harapan dapat semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
“Sehingga begitu BKT ditetapkan, kemudian kita melihat bantuan pemerintah itu tidak akan mencukupi untuk menurut BKT, maka kita memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk dapat memungut uang kuliah tunggal (UKT),” jelas dia.
Namun, dia menegaskasn, pemerintah tetap melarang adanya komersialisasi perguruan tinggi negeri. Hal tersebut, kata dia, sudah jelas diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Di mana, selain melarang adanya komersialisasi, perguruan tinggi negeri juga harus bersifat inklusif.
“Perguruan tinggi itu harus dapat diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi, baik dari yang kurang mampu maupun yang kaya atau yang mampu. Ini sudah kebijakannya,” tutur Tjitjik.
Untuk mewadahi semua itu, maka dalam penetapan UKT pemerintah mengatur adanya golongan UKT I dan UKT II. Di mana UKT I itu ada di angka Rp 500 ribu dan UKT II di angka Rp 1 juta. Menurut dia, pengaturan kedua golongan UKT itu dilakukan untuk menjamin masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi tapi secara ekonomi tidak mampu agar dapat mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas.
Minimal penerima golongan UKT I dan II pun sudah ditetapkan di dalam Peraturan Mendikbudristek sebesar 20 persen dari kuota mahasiswa. Untuk selebihnya, sebagai bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk gotong royong membiayai pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi diberikan otonomi kewenangan untuk menetapkan golongan UKT III dan seterusnya.
“Apakah bebas? Tidak. Ada batasannya. Batasannya apa? UKT tertinggi itu tidak boleh melebihi BKT. Kenapa UKT tertinggi tidak boleh melebihi BKT? Ya agar masyarakat itu tidak overpay terhadap kebutuhannya sendiri,” terang dia.