REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menimbulkan kontroversi usai dibahas secara sembunyi-sembunyi DPR RI, dan diterima Menkopolhukam mewakili Pemerintah. Apalagi, pembahasan dilakukan Pemerintah dan DPR pada masa reses.
Kini, satu demi satu mantan hakim-hakim MK mulai bersuara keras menyampaikan penolakan mereka. Hakim MK periode 2003-2020, I Dewa Gede Palguna mengatakan, pembahasan yang dilakukan diam-diam sudah pasti menimbulkan pertanyaan besar.
"Pertanyaan pertama yang lahir dari benak saya ketika ada usul lagi perubahan UU MK dengan cara yang diam, Presiden dengan DPR, dan ternyata itu dibuat di masa reses yang ternyata pula tidak semua Anggota DPR tahu, sebagian bahkan masih ada yang di luar negeri, bahkan Komisi III sendiri ini kan menimbulkan pertanyaan," kata Palguna dalam webinar PSHK, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Kamis (16/5/2024).
Bagi Palguna, dampak negatif dari revisi UU MK ini sudah sangat jelas. Misalnya, di Pasal 23 ayat 1 sudah diterangkan secara nyata kalau masa jabatan hakim konstitusi 10 tahun. Anehnya, malah dihadirkan ayat 2, 3, 4 yang bisa mengubah ketentuan itu.
Maka itu, Palguna mengkritisi logika hukum yang dipakai pembentuk atau pengusul dari revisi UU MK tersebut. Ia berpendapat, jika ada ayat-ayat lain yang bisa mengubah ketentuan tegas soal masa jabatan hakim konstitusi, sejak awal buat apa dibuat ayat 1.
Palguna turut mempertanyakan sikap diam-diam Pemerintah dan DPR yang tidak lagi mengundang ahli-ahli untuk diambil masukannya sebelum membahas revisi terhadap UU. Ia melihat, kini Undang-Undang dibuat seenaknya disesuaikan kepentingan saja.
"Masih berguna tidak ahli-ahli diundang berbicara masalah ini? Masih didengar-kah omongan kita ini? Karena maunya suka suka saja, besok bikin Undang-Undang apa, tiba-tiba sudah disahkan saja, nanti jawabannya gampang saja, silakan kalau memang tidak setuju selesaikan di Mahkamah Konstitusi," ujar Palguna.
Hakim MK periode 2014-2024, Wahiduddin Adams menerangkan, dulu jika ada UU yang rancangannya sedang dibahas, pihak-pihak yang tidak puas akan melakukan perdebatan lagi di MK. Kini, ia berpendapat, itu turut berlaku kepada pembentuk UU.
Dulu, ia menyampaikan, pembentuk UU kalau ada respons masyarakat akan memberi penjelasan dan alasan-alasan. Kini, baik Pemerintah atau DPR, kalau ada kritik-kritik membangun yang disampaikan masyarakat selalu mempersilakannya menguji di MK.
"Ini nanti pada akhirnya Mahkamah Konstitusi itu menjadi Mahkamah face to face Konstitusi, jadi mahkamah akan berhadapan dengan konstitusi, ini saya kira akan terlihat dalam perjalanan selanjutnya," kata Wahid.
Wahid turut mengingatkan apa yang terjadi hari ini dari perspektif historis. Tepatnya, tentang merdeka yang diberi makna sangat spesifik, yaitu terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan menjadi peringatan dini yang bersejarah dari Supomo.
"Bahwa pemerintah atau eksekutif akan menjadi pelaku dan cabang kekuasaan yang memiliki potensi paling besar sekaligus instrumen yang paling lengkap dalam mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman atau yudikatif," ujar Wahid.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015, Hamdan Zoelva mengatakan, revisi UU MK yang dilakukan diam-diam tidak cuma ancaman runtuhnya independensi MK. Tapi, merupakan ancaman serius terhadap eksistensi negara hukum itu sendiri.
"Bagi saya ini adalah ancaman sangat serius terhadap negara hukum karena salah satu fondasi pokok dari negara hukum adalah independensi dari lembaga peradilan. Kalau lembaga peradilan kehilangan independensinya, maka tamatlah riwayat negara hukum itu," kata Hamdan.