Jumat 17 May 2024 07:49 WIB

Revisi UU MK: Ancaman Terhadap Independensi Hakim Konstitusi dan Fondasi Negara Hukum

Sejumlah mantan hakim mengkritik upaya 'diam-diam' DPR dan pemerintah merevisi UU MK.

Suasana jelang sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (22/4/2024). MK akan menggelar sidang putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 pada hari ini pukul 09.00 WIB.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana jelang sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (22/4/2024). MK akan menggelar sidang putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 pada hari ini pukul 09.00 WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar

Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengkritisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Ketua MK periode 2008-2013 itu merasa revisi UU MK itu cuma merupakan langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu. Apalagi, beberapa waktu terakhir orang sudah banyak membahas tentang desentralisasi yang dilakukan secara diam-diam dan secara halus.

Baca Juga

"Akhirnya semua ada di satu tangan, nanti ada re-calling, independensinya dibatasi. Salah satunya recall saja, minta konfirmasi saja, tapi yang lebih keras lagi, sebelum dibahas, ada di RUU, bahwa DPR bisa atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik, itu re-calling yang asal, ini tidak, diminta konfirmasi bukan ditarik," kata Mahfud dalam keterangan pers yang dikutip pada Kamis (16/5/2024). 

Terkait ini, Mahfud mengingatkan mantan-mantan Ketua MK dan hakim MK sudah pernah bertemu untuk membahasnya. Mahfud menyampaikan tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, Haryono sepakat independensi hakim tidak boleh diganggu.

Akhirnya, lanjut Mahfud, ide-ide yang coba dimunculkan untuk menarik hakim di tengah jalan melalui revisi terhadap UU MK itu dihapus. Uniknya, kini dimunculkan lagi rencana yang dirasa bisa mengganggu independensi hakim seperti re-konfirmasi setelah masuki tahun kelima.

"Harus ada independensi, sehingga ide untuk menarik hakim di tengah jalan hapus, tapi yang muncul kemudian lima tahun di-re-konfirmasi," ucap Mahfud.

Mahfud tidak sepakat jika ini disalahkan ke legal drafter. Sebab mereka yang memiliki filosofi materi dan memiliki hak konstitusional untuk menentukan tetap hanya Presiden dan DPR RI.

"Ini lebih kepada kolaborasi banyak aktor yang sama-sama punya keinginan tertentu yang bisa dicapai kalau berkolaborasi. Misalnya membuat UU harus begini, ini dapat ini, itu dapat itu, itu sudah biasa, oleh sebab itu kita sekarang sering berteriak tentang moral dan etik," ujar Mahfud.

Soal potensi hakim bisa jadi proxy dari lembaga-lembaga jika revisi UU MK disahkan, Mahfud menyampaikan itu memang menjadi salah satu kekhawatiran. Namun, Mahfud mengingatkan keputusan tetap ada di Presiden dan DPR RI karena bisa saja disahkan dengan alasan-alasan yang baik.

"Tetap keputusan kan mereka yang memutuskan, biar hakim tidak seenaknya, bisa juga alasannya begitu. Bisa benar, tinggal alasannya apa, bisa saja dan itu masuk akal, tapi menurut saya masalahnya bukan itu, masalahnya akan bisa dikendalikan, itulah yang saya katakan independensi," ucap Mahfud.

Diketahui, dalam Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) Perubahan Keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul. 

photo
Karikatur Suap Hakim - (republika/daan yahya)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement