Kamis 16 May 2024 15:54 WIB

Di Persidangan, JK Sebut Pemerintah Beri Kebebasan Pertamina Beli Gas

Teknis pembelian LNG diserahkan kepada PT Pertamina selaku perusahaan negara.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla saat akan memberikan keterangan saksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dengan terdakwa mantan Direktur Utama Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024). Jusuf Kalla menghadiri sidang lanjutan tersebut untuk dimintai keterangannya sebagai saksi yang meringankan terdakwa.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla saat akan memberikan keterangan saksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dengan terdakwa mantan Direktur Utama Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2024). Jusuf Kalla menghadiri sidang lanjutan tersebut untuk dimintai keterangannya sebagai saksi yang meringankan terdakwa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, M Jusuf Kalla (JK) menyatakan, pemerintah tak ikut campur mengenai teknis pembelian gas oleh PT Pertamina. Sebab, pemerintah hanya mengurusi kebijakannya saja. 

"Pemerintah, presiden hanya mengatur kebijakan (soal pembelian gas)," kata JK dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis (16/5/2024). JK hadir sebagai saksi meringankan bagi eks direktur utama (dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan. Karen terjerat kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina pada tahun 2011-2014.

Adapun teknis pembelian LNG diserahkan kepada PT Pertamina selaku perusahaan negara yang bergerak di bidang migas. JK menyatakan, pemerintah tak intervensi mengenai opsi di mana Pertamina harus membeli gas. "Teknisnya oleh Pertamina. Jadi presiden tidak sampai bahwa bicara begini, beli di sini, tidak," ucap JK.

Jawaban JK menyangkut substansi Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang ditanyakan dalam persidangan. "Ini adalah suatu keputusan bersama kemudian tentang teknisnya sekali lagi apakah beli di mana itu tidak diatur oleh instansi lain. Hanya oleh Pertamina sebagai lembaga atau organisasi bisnis yang berhak untuk itu," ujar JK.

Oleh karena itu, JK menekankan, kalau dirut Pertamina dihukum lantaran perusahaan merugi maka hal itu menjadi berbahaya. JK khawatir tak ada lagi keinginan orang melakukan inovasi kalau diancam hukuman. 

"Karena ini bahaya tidak ada orang yang mau nanti bekerja lagi di perusahaan negara kalau begini masalahnya," ucap eks ketua umum DPP Partai Golkar tersebut.

Majelis hakim lantas meminta ketegasan lagi kepada JK soal pengadaan gas oleh Pertamina selaku BUMN. "Apakah pengadaan dari LNG ini tidak sama dengan pengadaan yang diadakan pemerintah?" tanya hakim.

"Ya berbeda. Kalau kementerian harus diikuti dengan tender. Tapi kalau BUMN negosiasi langsung tawar-menawar itu bedanya. Dengan harga efisien yang menguntungkan negara," jawab JK.

Dalam perkara itu, Karen didakwa memperkaya sejumlah pihak termasuk dirinya sendiri sebesar Rp 1,09 juta dolar AS dan 104 ribu dolar AS (Rp 1,6 miliar), serta memperkaya suatu korporasi, yaitu Corpus Christi Liquefaction Lcc seluruhnya sebesar 113,839,186 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,77 triliun.

Tindakan Karen dipandang JPU KPK menimbulkan kerugian keuangan negara. Kerugian tersebut dikalkulasi berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Pengadaan LNG (Liquified Natural Gas) Corpus Christi Liquefaction kepada Pertamina dan instansi terkait.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement