Rabu 15 May 2024 09:56 WIB

Mahfud Ungkap Tendensi Revisi UU MK untuk Berhentikan Hakim-Hakim Tertentu

Mahfud pernah menolak revisi UU MK saat masih menjabat Menko Polhukam.

Rep: Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Ketua MK Suhartoyo (kanan) dan Hakim MK Saldi Isra (kiri) dalam sebuah sidang di Mahkamah Konstitusi.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua MK Suhartoyo (kanan) dan Hakim MK Saldi Isra (kiri) dalam sebuah sidang di Mahkamah Konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menilai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memang aneh. Mahfud berpendapat revisi terhadap UU MK itu malah berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya yang terkait dengan aturan peralihan. 

"Itu juga sebabnya saya menolak, ini mengganggu independensi. Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera, menurut saya," kata Mahfud dalam keterangan pers pada Rabu (15/5/2024).

Baca Juga

Menko Polhukam periode 2019-2023 itu turut menceritakan proses ditolaknya revisi UU MK. Pada 2020, Mahfud menyampaikan memang sudah coba dilakukan perubahan terhadap UU MK yang disebut Menkumham Yasonna Laoly sudah disepakati sebelum Mahfud menjadi Menko Polhukam.

Ternyata, Mahfud menuturkan upaya-upaya itu masih belum berhenti. Sebab pada 2022 secara tiba-tiba muncul lagi usulan untuk perubahan terhadap UU MK. Padahal, Mahfud menekankan usulan revisi UU MK itu tidak pernah ada di Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas).

"Saya kaget, saya tanya lagi ke Pak Yasonna. Pak, ini kok ada UU belum ada di Prolegnas, sudah Pak, disepakati baru ini tambahan di Prolegnas untuk direvisi. Kok mendadak, saya bilang, iya ini DPR memutuskan begitu, dan sudah dibicarakan mungkin secara diam-diam, begitu," ujar Mahfud.

Akhirnya, Mahfud tetap menegaskan kalau revisi terhadap UU MK tidak benar karena ada tendensi untuk memberhentikan hakim-hakim tertentu di tengah jalan. Maka itu, Mahfud menyampaikan kepada Mensesneg Pratikno untuk turun langsung mengikuti rapat bersama DPR RI membahas ini.

"Oleh sebab itu DPR waktu itu kebetulan saya yang pesan ke Pak Pratik, Pak kayaknya UU ini saya perlu turun sendiri ke DPR, kan bisa, oh iya bisa kata Pak Pratik, sudah nanti Pak Mahfud saja yang mewakili ke DPR bersama Pak Yasonna," kata Mahfud.

Mahfud menilai UU itu sekalipun bagus tidak boleh berlaku untuk hakim-hakim yang sekarang ada. Para hakim MK yang ada harus dibiarkan sampai habis masa jabatannya, baru dilakukan penggantian. Ternyata, Mahfud mengingatkan saat itu DPR tidak mau karena mereka ingin hakim-hakim langsung diganti.

"DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu UU ditetapkan hakim yang tidak yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar, dalam ilmu hukum ini keliru saya bilang, akhirnya apa, deadlock kan saja saya bilang, maka deadlock, selama saya jadi Menko," ujar Mahfud.

Mahfud merasa RUU MK yang diusulkan bisa menakut-nakuti hakim MK yang kini ada, ditambah saat itu sudah mendekati kontestasi politik pemilihan umum. Meski begitu, Mahfud menegaskan tidak bisa menghalangi siapa pun yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK dilakukan.

"Sekarang sesudah saya pergi (dari kabinet) tiba-tiba disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa siapa, tapi itu ceritanya, saya pernah deadlock kan UU itu, sekarang disahkan. Isinya tetap seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi," ucap Mahfud.

photo
Karikatur Suap Hakim - (republika/daan yahya)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement