Senin 08 Apr 2024 10:54 WIB

Eks Ketua Sebut Peleburan KPK dan Ombudsman Belum Layak Seperti di Korsel

Agus justru menilai KPK harus menggenjot penindakan kasus-kasus korupsi.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus raharjo
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan sambutan saat membuka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia atau Hakordia di Gedung KPK, Jakarta, Senin (9/12/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan sambutan saat membuka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia atau Hakordia di Gedung KPK, Jakarta, Senin (9/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, rencana peleburan lembaga antirasuah dengan Ombudsman serupa dengan yang dilakukan oleh Korea Selatan. Tapi, kata dia, untuk Indonesia langkah tersebut belum layak karena indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia masih rendah.

“Itu layak kalau IPK Indonesia sudah cukup tinggi dan trennya menaik terus seperti Korea. Belum layak untuk saat ini,” tutur Agus kepada Republika.co.id, Senin (8/4/2024).

Baca Juga

Agus mengungkapkan, IPK Indonesia untuk saat ini masih terbilang sangat jelek, ada di angka 34. Menurut Agus, angka itu serupa dengan IPK Indonesia pada 2014. Sebab itu, kata dia, yang sejatinya perlu dilakukan untuk saat ini adalah menggenjot penindakan kasus-kasus korupsi.

“Justru saat ini yang perlu digenjot penindakan. Tangani big fish dalam waktu yang cepat, dalam jumlah kasus yang banyak,” tegas ketua KPK periode 2015-2019 itu.

Dilansir dari laman Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC), pada 2024 IPK Korea Selatan tahun 2023 yang dirilis pada 30 Januari lalu oleh Transparency International (TI) ada di angka 63 poin dari 100. Angka tersebut menempatkan Korea Selatan pada ranking 32 dari 180 negara lain.

Jika dilihat secara tren, IPK Korea Selatan mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, IPK Korea Selatan ada di angka 59 poin, 2020 di angka 61 poin, 2021 di angka 62 poin, 2022 di angka 63 poin. Angka IPK Korea Selatan baru mengalami stagnansi pada tahun 2023.

Dari data yang dipaparkan, Indonesia berada di ranking 115 bersama enam negara lain dengan skor IPK 34. Negara-negara dengan IPK setara dengan Indonesia adalah Ekuador, Malawi, Filipina, Sri Lanka, dan Turki.

Skor IPK di angka 34 sebelumnya pernah didapatkan Indonesia pada 2014 lalu. Dari sana, terjadi peningkatan hingga tahun 2019, yakni 36 pada 2015, 37 pada 2017 dan 2018, 38 pada 2018, 40 pada 2019. Tapi, skor tersebut mengalami penurunan sejak saat itu. Di mana pada 2020 kembali turun ke angka 37, naik jadi 38 pada 2021, dan kembali turun ke 34 pada 2022 dan 2023. 

Sementara itu, Eks Komisioner KPK Laode M Syarief menilai rencana peleburan lembaga antirasuah dengan Ombudsman sebagai langkah mundur. Sebab, kata dia, tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi.

"Pembubaran KPK untuk digabung dengan Ombudsman adalah langkah mundur karena korupsi di Indonesia masih sangat tinggi," kata Laode kepada Republika.co.id, Ahad (7/4/2024).

Laode mengatakan, jika memang ingin melihat praktik baik, maka dapat melihat apa yang dilakukan oleh Singalura. Di mana, meski tingkat korupsi di sana sangat rendah, pemerintahnya tetap mempertahankan The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), lembaga antirasuah Singapura.

"Walaupun korupsi mereka sangat rendah, tapi mereka tetap mempertahankan CPIB sebagai lembaga khusus yang menyelidiki dan menyidik tindak pidana korupsi," jelas Laode.

Dia menambahkan, jika pemerintah serius memberantas korupsi, maka sebaiknya yang dilakukan adalah mengembalikan independensi KPK. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah memilih komisioner-komisioner dan pegawai yang berintegritas.

"Kalau pemerintah serius memberantas korupsi, sebaiknya mengembalikan independensi KPK dan memilih komisioner-komisioner dan pegawai-pegawai yang berintegritas," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement