Selasa 26 Mar 2024 09:19 WIB

ICW Heran Bupati Sidoarjo tak Kunjung Jadi Tersangka di KPK

ICW heran Bupati Sidoarjo tidak kunjung menjadi tersangka dalam kasus korupsi BPPD.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor memenuhi panggilan KPK. ICW heran Bupati Sidoarjo tidak kunjung menjadi tersangka dalam kasus korupsi BPPD.
Foto: Republika/Rizky Suryarandika
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor memenuhi panggilan KPK. ICW heran Bupati Sidoarjo tidak kunjung menjadi tersangka dalam kasus korupsi BPPD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan KPK yang tak kunjung menetapkan Bupati Sidoarjo, Ahmad Mudhlor Ali, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo. Padahal, ICW mengendus peran Gus Muhdlor cukup kental. 

Dalam kasus pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di lingkungan BPPD Sidoarjo ini, baru ada dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keduanya ialah Siska Wati (Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD, Sidoarjo), dan Ari Suyono (Kepala BPPD, Sidoarjo).

Baca Juga

"Padahal jika dicermati lebih lanjut, dari keterangan pers KPK sendiri disebutkan bahwa peran Mudhlor Ali sudah cukup terang dalam perkara ini," kata Peneliti ICW Diky Anandya dalam keterangannya kepada Republika, Selasa (26/3/2024). 

Dalam konstruksi perkaranya, bahwa pada tahun 2023, BPPD Sidoarjo memperoleh pendapatan pajak daerah sebesar Rp 1,3 triliun. Atas capaian tersebut, pegawai BPPD seharusnya berhak memperoleh insentif. Akan tetapi, insentif yang seharusnya mereka terima, secara sepihak dipotong, yang dimana disebutkan, pemotongan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Kepala BPPD Sidoarjo, namun lebih dominan diperuntukkan bagi kebutuhan Bupati.

"Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat, apa yang membuat KPK tidak segera menetapkan Bupati Sidoarjo sebagai tersangka?" singgung Diky. 

ICW juga mengendus dugaan kebocoran informasi di tubuh KPK hingga menyebabkan Gus Muhdlor lolos dari Operasi Tangkap Tangan (OTT). Gus Muhdlor Ali pun baru sekali diperiksa KPK sebagai saksi pada 16 Februari 2024. Oleh karena itu, ICW mendesak KPK menyikapi keanehan atas tak kunjung tersangkanya Gus Muhdlor. 

"Pertanyaan lebih lanjutnya, apakah hal ini dipengaruhi oleh indikasi adanya kebocoran informasi di internal mengenai rencana tangkap tangan KPK? Pertanyaan ini perlu dijawab oleh KPK," ucap Diky. 

Kasus ini mencuat setelah OTT di Sidoarjo pada Januari 2024. Saat itu, tim KPK menangkap 11 orang yaitu Siska Wati (Kasubag Umum BPPD Pemkab Sidoarjo), Agung Sugiarto, (suami Siska dan juga Kabag Pembangunan Setda Pemkab Sidoarjo), Robith Fuadi yang merupakan kakak ipar Bupati Sidoarjo, Aswin Reza Sumantri selaku asisten pribadi Bupati Sidoarjo. 

Kemudian Rizqi Nourma Tanya (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Sintya Nur Afrianti (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Umi Laila (Pimpinan Cabang Bank Jatim), Heri Sumaeko (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Rahma Fitri (Fungsional BPPD Pemkab Sidoarjo) Tholib (Kepala Bidang BPPD Pemkab Sidoarjo), dan Nur Ramadan, anak Siska. Tapi yang dijadikan tersangka baru Siska dan Ari saja. Sisanya dilepaskan oleh KPK. 

Tercatat, total uang yang dipotong Siska mencapai Rp 2,7 miliar untuk periode 2023 saja. Sedangkan laporan pemotongan yang diterima KPK sudah terjadi sejak 2021. KPK menemukan uang Rp 69,9 juta dari total Rp 2,7 miliar yang dikumpulkan dalam OTT tersebut. 

Dari penelusuran KPK, Ari Suryono menyuruh Siska Wati mengalkulasi nominal dana insentif yang diterima para pegawai BPPD. Nantinya dana itu dipotong diduga diperuntukkan bagi kebutuhan Ari dan Gus Muhdlor. Besaran potongan yaitu 10% sampai dengan 30% sesuai dengan besaran insentif yang diterima. 

KPK menduga Ari Suryono aktif mengatur pemberian potongan dana insentif kepada Muhdlor Ali. Pemberian itu diduga dilakukan lewat orang-orang kepercayaan Muhdlor Ali.

Siska dan Ari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf f Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement