Kemudian, Hadar menyimpulkan, penyelenggara Pemilu 2024 cenderung tidak mandiri. Ia menyinggung intervensi DPR dalam memutuskan apa yang sesungguhnya menjadi wewenang KPU, serta intervensi lainya yang membuat peraturan dan data sampai harus berubah.
Misalnya, peraturan tentang kewajiban 30 persen calon legislatif harus perempuan banyak tidak terwujud. Bahkan ada enam partai yang jelas-jelas tidak memenuhi prasyarat itu.
"Berkali-kali kesalahan yang dilakukan KPU dianggap sebagai persoalan kecil, yang saling ditutupi. Ini persoalan serius. Saya menyoroti penyelenggara pemilu kita saat ini nyata-nyata melaksanakan pemilu tidak sesuai dengan Undang-Undang. Ini cacat besar dalam demokrasi kita, jadi jangan seolah-olah kita bilang pemilu selesai dan tutup buku," ujarnya.
Pengajar STF Driyarkara Yanuar Nugroho pun angkat bicara mengenai persoalan itu. Ia yang pernah menjadi Deputi Kantor Staf Presiden pada 2015-2019 mewanti-wanti bahwa berbagai kecurangan yang terjadi tidak boleh dinormalisasi, tidak boleh dimaklumi atau dimaafkan dan tidak boleh diinstitusionalisasikan.
Ia menekankan jangan sampai berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi di lapangan menjadi resep bagi pemimpin lain di Indonesia di masa mendatang untuk melakukan kecurangan yang berkelanjutan.
"Politik 'gentong babi' itu bukan hanya bansos, tapi juga kenaikan gaji bagi aparat negara, penyelenggara pemilu, bahkan sampai ke penunjukkan komisaris," kata Yanuar.