Ahad 18 Feb 2024 06:26 WIB

Jaga Pemilu: Salah Input Sirekap Jadi Pelanggaran Tertinggi Hingga H+3 Pemungutan Suara

Pelanggaran tertinggi lainnya adalah kesalahan administrasi tata cara pelayanan KPPS.

Rep: Eva Rianti/ Red: Andri Saubani
Konferensi pers Jaga Pemilu, Jaga Suara 2024, Kecurangan Pemilu, dan Omong-Omong Media di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (17/2/2024).
Foto: Dok Repiblika
Konferensi pers Jaga Pemilu, Jaga Suara 2024, Kecurangan Pemilu, dan Omong-Omong Media di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (17/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan salah input dalam aplikasi sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pelanggaran tertinggi yang diperoleh pada H-1 hingga H+3 hari pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu. Hal itu diungkapkan oleh Jaga Pemilu, salah satu gerakan masyarakat dalam mengawal pemilu. 

Jaga Pemilu juga mencatat, pelanggaran tertinggi berikutnya adalah kesalahan administrasi tata cara pelayanan pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lapangan. 

Baca Juga

"Sejak Orde Baru berakhir, ini adalah pemilu keenam yang kita lakukan. Sangat disayangkan bahwa sudah enam kali berturut-turut kita melakukan pemilu, berbagai kecurangan atau kesalahan yang terjadi, termasuk kesalahan administratif seperti dua hal tertinggi tersebut, belum bisa diminimalisir," kata Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu Luky Djani dalam konferensi pers Jaga Pemilu, Jaga Suara 2024, Kecurangan Pemilu, dan Omong-Omong Media di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (17/2/2024). 

Luky menjelaskan, kedua pelanggaran itu diperoleh dari pantauan yang Jaga Pemilu lakukan di hampir 7.000 tempat pemungutan suara (TPS) di lapangan, baik oleh penjaga pemilu yang teregistrasi, maupun dari masyarakat umum. Keduanya berbeda dari isu pelanggaran tertinggi sebelum hari H yang didominasi oleh ketidaknetralan aparat. 

"Selain salah input Sirekap dan kesalahan administrasi tata cara pemilu, juga ada persoalan netralitas penyelenggara, politik uang di H-1 sampai menjelang pencoblosan atau yang dikenal sebagai serangan fajar. Juga ada pelanggaran terkait dengan Daftar Pemilih Tetap. Misalnya, ada nama di daftar tapi tidak menerima surat panggilan, atau sebaliknya, ada anggota keluarga yang sudah wafat tapi menerima surat panggilan," jelasnya. 

Luky melanjutkan, menurutnya Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 1992 ketika Orde Baru masih berkuasa. Artinya, setelah 30 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilu bebas, berbagai kesalahan masih terus terjadi hingga saat ini di pascareformasi. 

photo
Pemilih lintas generasi di Pemilu 2024. - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement