REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, mencermati fakta suara PDIP masih relatif tinggi berdasarkan hitung cepat Pemilu Legislatif (Pileg), tapi justru tidak mampu mendongkrak suara paslon yang mereka usung yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Ujang menilai ada kemungkinan pemilih loyal PDIP memiliki pilihan lain untuk capres-cawapres. Sehingga perolehan suara partai tidak selaras dengan suara Ganjar-Mahfud yang menurut hasil quick count berbagai lembaga survei berada di posisi paling buncit atau urutan tiga di bawah Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin.
"Ini artinya pemilih PDIP tidak ikut pilihan partai untuk capres-cawapres," kata Ujang, Kamis (15/2/2024).
Ujang menjelaskan memang wajar bila ada perbedaan pilihan partai dan pilihan terhadap capres-cawapres. Untuk pilihan partai kata Ujang, kader-kader yang menyentuh akar rumput sudah menjalin keterikatan yang sangat erat dengan pemilihnya sejak lama. Bahkan, jauh-jauh hari sebelum Pemilu.
Sementara itu, capres-cawapres menurut Ujang baru berkeliling menyapa masyarakat tiga bulan pada masa kampanye. Sehingga ikatan emosional capres-cawapres dengan masyarakat tidak sekuat dengan kader-kader yang maju menjadi calon legislatif.
"Capres-cawapres ini keterikatannya kan baru begitu dideklarasikan sebagai pasangan kan baru beberapa bulan lalu,"ujar Ujang.
Ujang juga menduga PDIP memang realistis untuk tidak memburu kemenangan di dua kontesasi yakni Pileg dan Pilpres. "Saya melihat di situ. PDIP yang penting jangan sampai kalah dua-duanya. Jadi, strateginya memenangkan Pileg, enggak apa-apa Pilpres kalah," kata Ujang menambahkan.
Hal serupa juga dikemukakan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Asrinaldi. Menurut dia, preferensi orang ke partai berbeda dengan preferensi ke paslon.
"Tidak semua kekuatan akar rumput PDIP memilih Ganjar, sehingga memilih sesuai dengan keinginannya. Bisa aja ke 02 yang didukung Pak Jokowi. Walau PDIP suara maksimal, tapi calonnya tidak," kata Asrinaldi.