Ahad 14 Jan 2024 06:18 WIB

Penegak Hukum Dinilai tidak Serius Usut Transaksi Janggal Parpol

Pengamat menilai penegak hukum tidak serius dalam mengusut transaksi janggal parpol.

Rep: Febrian Fachri/ Red: Bilal Ramadhan
Pengamat politik dari Visi Nusantara, Yusfitriadi. Pengamat menilai penegak hukum tidak serius dalam mengusut transaksi janggal parpol.
Foto: dokpri
Pengamat politik dari Visi Nusantara, Yusfitriadi. Pengamat menilai penegak hukum tidak serius dalam mengusut transaksi janggal parpol.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Visi Nusantara, Yusfitriadi, mengatakan aparat penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak serius merespons laporan transaksi mencurigakan partai politik dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK baru-baru ini menyebutkan ada dana Rp 195 miliar masuk rekening ke bendahara-bendahara partai politik yang berasal dari luar negeri.

Harusnya penegak hukum yang dapat melakukan tindakan, menurut Yusfitriadi, memeriksa dan mengusut transaksi mencurigakan ini apalagi pada momen pemilu seperti sekarang.

Baca Juga

"Saya sangat khawatir para penegak hukum, baik KPK maupun kepolisian tidak berani memproses adanya laporan transaksi dana ilegal dan mencurigakan tersebut. Karena menyangkut keterlibatan para petinggi partai politik dan para elite kekuasaan," kata Yusfitriadi, melalui siaran pers yang diterima Republika, Ahad (13/1/2024).

Yusfitriadi menyebut masuknya uang ilegal dari asing atau pihak luar yang diduga untuk kepentingan pemilu akan berdampak beberapa hal. Seperti kesetaraan kontestasi di mana pihak paslon yang mendapatkan uang lebih banyak dapat mendominasi permainan kontestasi 2024. Sehingga membuat kontestasi tidak adil dan tidak setara. Kedua yang membahayakan menurut Yusfitriadi adalah potensi intervensi asing.

Karena dia merasa tidak ada kepentingan apapun ketika pihak asing mengalirkan dananya kepada kandidat atau peserta pemilu selain sebagai upaya intervensi dalam mengamankan berbagai misi asing tersebut. Misalnya penguasaan aset, pengamanan investasi, bahkan sangat mungkin untuk mengendalikan jalannya pemerintahan ke depan dengan berbagai modus operandinya.

"Ketiga, membuka peluang praktek kejahatan perusahaan. Ketika dana ilegal yang masuk untuk kepentingan pemilu tersebut berasal dari hasil kejahatan, seperti perusahaan ilegal, perusahaan yang memproduksi barang terlarang, atau uang dari hasil money loundry sangat berbahaya bagi masa depan republik ini," ucap Yusfitriadi.

Yusfitriadi menambahkan seharusnya adanya temuan dari laporan PPATK ini tidak hanya jadi perhatian penegak hukum. Tapi juga Presiden RI, Joko Widodo. Presiden kata dia berkewajiban memastikan Pemilu berjalan dengan baik tanpa ada campur tangan kepentingan asing.

Tapi Yusfitriadi melihat Presiden justru sibuk memperhatikan hal-hal remeh temeh yang tidak substantif dengan tugasnya sebagai kepala negara. Seperti turut makan malam dengan para pimpinan parpol, dan ikut mencampuri urusan teknis debat capres.

"Ini masalah kedaulatan dan masa depan bangsa yang jelas-jelas sudah terlihat ancamannya melalui ancaman intervensi asing dan perilaku koruptif dalam pemilu malah tidak berkomentar apapun. Saya berharap presiden bener-bener perhatikan sampai tuntas kasus ini, sampai adanya kepastian hukum. Jangan sampai kasus inu menguap begitu saja tanpa ada kejelasan ujungnya," kata Yusfitriadi menambahkan.

Sebelumnya, Rabu (10/1/2023 kemarin, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana membeberkan adanya temuan soal penerimaan dana senilai ratusan miliar rupiah yang berasal dari luar negeri dalam transaksi rekening bendahara 21 partai politik sepanjang tahun 2022-2023.

Dalam temuannya, Ivan menyebut terdapat 8.270 transaksi dari 21 partai politik pada tahun 2022. Penerimaan makin meningkat, atau menjadi 9.164 transaksi pada tahun 2023.

"Mereka juga termasuk yang kita ketahui telah menerima dana dari luar negeri. Pada tahun 2022, penerimaan dananya hanya Rp 83 miliar, pada tahun 2023 meningkat menjadi Rp 195 miliar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement