REPUBLIKA.CO.ID, Status pembela HAM yang disematkan pada diri seseorang tak lantas membuatnya lepas dari dugaan pelanggaran HAM. Para pembela HAM justru masih dibayangi ancaman pelanggaran HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) prihatin dengan puluhan kasus dugaan pelanggaran HAM yang menyasar para pembela HAM. Komnas HAM berupaya mencegah pembela HAM malah dilanggar HAM-nya.
"Komnas HAM dalam rentang waktu 2020 hingga Agustus 2023 menerima dan memproses aduan terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap para pembela HAM sebanyak 39 aduan," kata Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan saat dikonfirmasi di Jakarta pada Jumat (8/12/2023).
Adapun klasifikasi pelanggaran hak yang diadukan adalah hak untuk hidup, memperoleh keadilan, kebebasan pribadi, rasa aman, serta kesejahteraan. Atas dasar inilah, para pembela HAM di Indonesia justru sering berada dalam kondisi memprihatinkan.
Mereka menghadapi dinamika dan tantangan yang semakin beragam. "Mereka kerap menghadapi risiko dan tantangan yang serius bahkan mengarah pada tubuh, identitas gender atau seksualnya," ujar Hari.
Dari pantauan Komnas HAM, hal ini terjadi terhadap pembela HAM yang bergerak di sektor lingkungan, sumber daya alam, isu kelompok rentan, termasuk anak, perempuan, pekerja migran, kelompok minoritas agama, keragaman seksual, dan masyarakat adat.
"Padahal tingkat internasional, jaminan hak pembela HAM telah dinyatakan dalam Deklarasi PBB tentang Pembela HAM," kata Hari.
Di sisi lain, Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 2013-2023 terdapat 101 kasus kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM yang diadukan secara langsung. Kekerasan tersebut menyasar tubuh, seksualitas, atau identitas yang melekat pada dirinya sebagai perempuan, terjadi secara langsung atau bahkan menggunakan media sosial atau media internet lainnya.
"Meski menghadapi ancaman, intimidasi dan kekerasan, tak jarang pembela HAM justru dituding sebagai pelaku tindak pidana dan dikriminalisasi," ujar Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini.
Adapun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertugas memberikan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana mengalami keterbatasan menjangkau pembela HAM yang 'dilabeli' status hukum tersangka atau terdakwa. Sebab status hukum tersebut bukan menjadi subkek perlindungan LPSK sebagaimana dimuat di Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Di tengah keterbatasan regulasi yang memberikan perlindungan bagi pembela HAM, lembaga seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK mengambil langkah strategis dalam usaha perlindungan pembela HAM. Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK pun akhirnya menandatangani nota kesepahaman (Mou).
Adapun MoU tentang Mekanisme Respons Cepat Lembaga HAM Nasional untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Pembela HAM. "Mekanisme respons cepat ini bertujuan memberikan perlindungan darurat bagi pembela HAM yang mengalami ancaman, kekerasan, dan/atau kriminalisasi dalam menjalankan kerja-kerjanya," ujar Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar.
Livia menyebut kehadiran mekanisme respons cepat diharapkan dapat memotong rantai koordinasi berjenjang dan menetapkan pembagian peran serta protokol komunikasi bersama sesuai tugas dan kewenangan masing-masing lembaga. Nantinya, pembela HAM yang sedang mengahadapi situasi darurat, proses pengaduannya cukup disampaikan ke satu lembaga saja.
Bisa ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun LPSK. "Kehadiran mekanisme respons cepat untuk perlindungan dan keamanan pembela HAM diharapkan mengisi ruang kosong ini," kata Livia.
Tercatat, pembela HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti tengah menghadapi persidangan di kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan. Haris Azhar dituntut pidana empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 juta subsider enam bulan kurungan.
Sedangkan Fatia Maulidyanti dituntut dengan pidana 3,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 ribu subsider tiga bulan kurungan. Hal itu terungkap ketika jaksa penuntut umum (JPU) Shandy Handika membacakan surat tuntutan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cakung, Senin (13/11/2023).
Keduanya dipandang JPU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana yang diatur Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hanya saja, baik Haris maupun Fatia tidak ditahan.
Kasus yang menjerat keduanya bermula dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul 'Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam' yang diunggah di kanal YouTube Haris. Tidak terima, Luhut melaporkan hal itu ke Polda Metro Jaya, dan kasusnya bergulir hingga kini.