Jumat 17 Nov 2023 21:07 WIB

Aksi Nyata Indonesia Selesaikan Perang Israel-Palestina Ditunggu Dunia

Portofolio Indonesia lebih unggul dibandingkan negara Arab yang tidak jelas sikapnya.

Rep: Erik PP/Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Seorang anak yang terluka dalam pemboman Israel menunggu perawatan di lantai Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, Palestina, Senin, (23/10/2023).
Foto: AP/Yasser Qudih
Seorang anak yang terluka dalam pemboman Israel menunggu perawatan di lantai Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, Palestina, Senin, (23/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks duta besar (dubes) RI untuk Ukraina, Prof Yuddy Chrisnandi menyampaikan, aksi nyata Indonesia dalam menyelesaikan perang Israel versus Palestina sedang ditunggu dunia. Hal itu disebabkan beberapa negara Islam, yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) tidak memiliki daya tawar sebesar Indonesia.

"Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam," ujar Yuddy dalam Webinar Moya Institute bertajuk 'Konflik Palestina-Israel: Peluang Penyelesaian' di Jakarta pada Jumat (17/11/2023).

Politikus Partai Golkar tersebut menilai, apabila bila seluruh umat Islam di Timur Tengah dikumpulkan menjadi satu, tetap belum bisa menyamai jumlah umat Islam di Indonesia. Portofolio itulah, menurut Yuddy, yang membuat peran Indonesia dinantikan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, dibandingkan negara Arab yang tidak jelas sikapnya.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti memandang konflik Israel-Palestina dari beberapa dimensi. Dia menyebut, dimensi pertama adalah  teologi. Mu'ti menyatakan, konflik tersebut disebabkan oleh klaim teologis kaum Zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya.

Namun, lanjut Mu'ti, dimensi kedua yakni politik juga kental dalam perang Israel-Palestina. Karena itu, Muhammadiyah menilai, solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut.

"Dan two-state solution adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan," ungkap Mu'ti.

Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Prof Hikmahanto Juwana menyatakan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas tindakannya di Jalur Gaza, Palestina. Tapi, yang menjadi persoalan adalah Israel bukan negara anggota terhadap Statuta Roma (1998), yang memungkinkan dia diadili International Criminal Court (ICC).

Tapi, bisa juga melalui mekanisme lain, yakni resolusi Dewan Keamanan (DK-PBB). Menurut dia, DK-PBB sebenarnya bisa mengeluarkan resolusi yang memandatkan ICC untuk mengadili para pemimpin Israel. "Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti 'macan ompong'," kata Hikmahanto.

Pemerhati isu-isu strategis dan global Prof Imron Cotan menilai, ada perbedaan mendasar antara orang Yahudi dan gerakan Zionisme. Orang Yahudi itu secara umum baik, karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam.

Sedangkan Zionisme, adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina dan menolak berdirinya negara Palestina. "Dan sekarang kaum Zionis ini berkuasa di pemerintahan Israel melalui kelompok ekstrem kanan pimpinan Benjamin Netanyahu," kata Cotan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement