Kamis 16 Nov 2023 05:07 WIB

Bima Arya dan Enam Kepala Daerah Minta Kejelasan Akhir Masa Jabatan ke MK

Tujuh kepala daerah menggugat UU Pilkada ke MK karena masa jabatan hanya 4 tahun.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Erik Purnama Putra
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Foto: Republika/Shabrina Zakaria
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan enam kepala daerah lain mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 201 ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. UU tersebut digugat lantaran para kepala daerah merasa dirugikan, karena masa jabatannya terpotong.

Selain Bima, enam kepala daerah lain yang juga memohon gugatan, yaitu eks gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wakil Wali Kota Bogor Dedie Abdu Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Bima Arya dan Wakilnya Dedie Abdu Rachim akan mengakhiri masa jabatan pada Desember 2023. Padahal, pasangan wali kota dan wakil wali Kota Bogor tersebut baru dilantik pada April 2019 alias tidak sampai satu periode atau lima tahun.

 

"Kami para kepala daerah yang Pilkadanya 2018 meminta kejelasan berakhirnya masa jabatan. Kami meminta MK memberikan tafsir konstitusional UU Pilkada Ayat 1 Pasal 205," kata Bima ketika dikonfirmasi di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/11/2023).

 

Bima bersama dan enam kepala daerah itu juga tetap mendukung pilkada serentak dan tahapan keserentakan. Sehingga, menurut dia, para kepala daerah yang dipilih pada Pilkada 2018, tidak mengganggu tahapan keserentakan apabila masa periode mereka tetap selesai pada 2024.

"Apabila dicermati, ada kekosongan norma antara Pasal 201 Ayat 4 dan Ayat 5 UU Pilkada yang tidak jelas mengatur tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih tahun 2018, namun baru dilantik tahun 2019. Norma Pasal 201 Ayat 4 hanya mengatur rezim pemilihan kepala daerah dan tidak mengatur pelantikan kepala daerah," jelas politikus PAN tersebut.

Dengan begitu, Bima menilai, para kepala daerah termasuk dirinya yang melakukan gugatan, merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Dia pun berharap segera ada putusan dari MK terkait gugatan tersebut sebelum mendekati akhir tahun.

"Ya betul, karena dirugikan maka kami meminta tafsir konstitusional. Kami berharap agar proses keputusan Yang Mulia Hakim Konstitusi bisa kami terima sebelum mendekati akhir tahun, karena Kemendagri akan memproses penunjukan nama pejabat kepala daerah," ujar Bima.

MK mengelar sidang perdana soal gugatan masa jabatan kepala daerah. Sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan itu berlangsung di gedung MK, Jakarta Pusat.

Sidang tersebut menguji materill UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dalam permohonannya, tujuh orang itu merasa dirugikan dan dilanggar hak konstitusionalnya sebagai kepala daerah yang dipilih secara demokratis sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (5) UU nomor 10 Tahun 2016 yang menjadi objek pengujian di dalam permohonan a quo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement