REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kubu mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar memandang dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) sama seperti dakwaan yang diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga perkara ini dinilai melanggar asas "nebis in idem" atau asas hukum yang melarang terdakwa didakwa lebih dari satu kali atas satu perbuatan.
Tercatat, Emirsyah didakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 pada maskapai PT Garuda Indonesia.
Koordinator Tim Penasihat Hukum Emirsyah Satar, Monang Sagala menyebut rangkaian peristiwa kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait pengadaan pesawat Garuda Indonesia sama seperti yang menjerat Emirsyah dalam kasus pertama yang ditangani KPK.
"Dakwaan a quo melanggar asas nebis in idem karena peristiwa dan rangkaian perbuatan material dalam dakwaan a quo adalah sama dengan peristiwa dan rangkaian perbuatan material dalam perkara terdakwa yang pertama," kata Monang dalam keterangannya pada Senin (23/10/2023).
Dalam perkara pertama, Emirsyah Satar dijerat kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia. Selanjutnya, Emirsyah divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 8 Mei 2020.
Selain itu, Emirsyah dijatuhi pidana tambahan membayar uang pengganti senilai 2.117.315,27 dollar Singapura subsider dua tahun kurungan penjara.
Eks Dirut Garuda Indonesia itu dinilai terbukti menerima uang berbentuk rupiah dan sejumlah mata uang asing yang terdiri dari Rp 5.859.794.797, lalu 884.200 dollar Amerika Serikat, kemudian 1.020.975 euro, dan 1.189.208 dollar Singapura.
Uang itu diterimanya melalui pengusaha pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang juga beneficial owner Connaught International Pte Ltd, Soetikno Soedarjo.
Baca juga: Secarik Alquran Bertuliskan Ayat As-Saffat Ditemukan di Puing Masjid Gaza, Ini Tafsirnya
Uang tersebut digunakan untuk memuluskan sejumlah pengadaan yang sedang dikerjakan PT Garuda Indonesia, yaitu Total Care Program mesin (RR) Trent 700, dan pengadaan pesawat Airbus A330-300/200. Kemudian, pengadaan pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, Bombardier CRJ1000, dan ATR 72-600.
Monang menyampaikan perkara Emirsyah yang ditangani oleh KPK telah berkekuatan hukum tetap. Dalam perkara tersebut, eks Dirut Garuda Indonesia ini telah dihukum dengan ketentuan Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Atas dasar itu menurut Monang seluruh hukuman terhadap Emirsyah Satar dalam peristiwa pengadaan pesawat Bombardier dan ATR 72-600 telah terserap. Emirsyah telah dinyatakan merugikan keuangan negara dan dihukum untuk membayar uang pengganti sesuai ketentuan Pasal 18 UU Tipikor.
Tapi, dalam perkara di Kejagung, eks Dirut Garuda Indonesia ini juga disebut telah merugikan keuangan negara sebesar 609.814.504,00 dollar Amerika Serikat (AS). Oleh karena itu, menurut Monang dakwaan ini hanya mengulang dakwaan sebelumnya.
"Dakwaan a quo yang mengulang kembali penerapan Pasal 18 UU Tipikor harus dinyatakan nebis in idem," ucap Monang.
Dalam kasus ini, Emirsyah dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.