Ahad 20 Apr 2025 14:04 WIB

Tarif Trump Ancam UMKM Halal, Pemerintah Diminta Akselerasi Diplomasi Ekspor

Indonesia sebaiknya memperluas pasar di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Erik Purnama Putra
Kebijakan tarif Presiden Donald John Trump menekan daya saing produk halal Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kebijakan tarif Presiden Donald John Trump menekan daya saing produk halal Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan tarif proteksionis Amerika Serikat (AS) era Presiden Donald John Trump menekan daya saing produk halal Indonesia, terutama sektor yang digerakkan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia, Rahmatina Awaliah Kasri menyebut, kenaikan tarif hingga 32 persen yang dikenakan terhadap produk Indonesia menjadi tantangan besar bagi industri halal.

"Tantangan muncul karena penurunan daya saing (akibat kenaikan harga barang yang dikenakan tarif 32 persen), tekanan pada rantai pasok (supply chain) jika ada perusahaan multinasional yang merelokasi pabriknya ke negara dengan tarif lebih rendah dan isu sertifikasi halal sebagai NTB (non-tariff barrier)," ujarnya dalam qebinar Efek Trump-nomics & Nasib Industri Halal yang diselenggarakan PEBS FEB UI, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Di balik tantangan tersebut, Rahmatina menilai, terdapat peluang strategis yang harus segera dimanfaatkan, khususnya dalam perluasan pasar halal global. "Indonesia bisa dan sebaiknya segera melakukan diversifikasi pasar melalui peningkatan ekspor ke negara-negara Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan yang memiliki permintaan tinggi terhadap produk halal, namun tidak memproduksi sendiri secara cukup."

Di sektor industri, tekanan paling terasa dirasakan pelaku UMKM makanan-minuman halal dan fashion Muslim. Gabriela Angriani dari Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) menjelaskan, sektor makanan dan minuman merupakan penyumbang lebih dari 38 persen PDB industri pengolahan nonmigas.

Namun, mayoritas pelakunya adalah UMKM yang kini kesulitan menembus pasar AS akibat tarif dan syarat sertifikasi ganda. "Biaya sertifikasi halal masih relatif mahal untuk pelaku UMKM. Prosesnya masih dianggap rumit oleh banyak anggota kami," ucapnya.

Gabriela menekankan, perlunya sistem yang lebih transparan, mudah, dan terjangkau agar UMKM dapat berdaya saing di pasar internasional. Dampak lain juga dirasakan oleh produsen tekstil, alas kaki, udang, kopi, dan produk karet.

Pembina Industri Ahli Muda di Pusat Industri Halal Kemenperin Detri Fitria Hasyar menjelaskan, dari data Kemenko Perekonomian dan laporan IDN, terdapat tujuh komoditas utama ekspor yang sangat terdampak kebijakan tarif AS. "Yaitu pakaian dan aksesoris, alas kaki, lemak dan minyak hewan/nabati, karet, ikan dan udang, serta olahan dari daging dan ikan, dan terakhir kopi," kata Detri.

Dia menjelaskan, penurunan permintaan ekspor bisa berdampak pada penyesuaian produksi dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tersebut. Saat ini, Kementerian Perindustrian sedang menyusun peta jalan industri halal 2025-2029 dan memperluas jaringan Lembaga Pemeriksa Halal untuk mendukung pelaku industri dalam memenuhi kewajiban sertifikasi. "Kami memiliki sekitar 21 lembaga pemeriksa halal dan tiga lembaga pelatihan halal di seluruh Indonesia," terang Detri.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement