REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa memutuskan persoalan syarat umur capres dan cawapres karena itu bukan merupakan isu konstitusi.
"Sebenarnya kami tahu ini adalah open legal policy DPR dan dalam tiga putusan MK yang dibacakan sebelumnya bahwa ini open legal policy," kata Yusril usai diskusi Menakar Pilpres Pascaputusan MK di Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Pada putusan perkara keempat dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10), Yusril menilai terjadi problematik hukum, karena MK malah mengabulkan gugatan dengan menambahkan syarat umur capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.
Menurut Yusril, MK sendiri mengetahui bahwa hal itu open legal policy, namun MK tetap mengubah substansi umur 40 tahun itu. "Ini yang saya katakan bahwa masalah inkonsistensi dari MK sendiri," tambahnya.
Selain itu, Yusril menambahkan keputusan tersebut cacat hukum dan berpotensi menimbulkan masalah ke depan. Dalam keputusan MK tersebut, lanjutnya, putusan itu berlaku dan mengikat tapi problematik.
Yusril mengatakan keputusan itu memang tidak memerlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, tapi KPU harus berkonsultasi dengan DPR kalau mau menyusun peraturan terkait pendaftaran capres dan cawapres.
"Kita tahu DPR sekarang ini reses dan pendaftaran Pilpres (2024) akan dimulai pada 19 Oktober. Artinya, tinggal dua hari lagi dari sekarang ini dan apakah KPU masih mungkin dapat mengubah aturan KPU. Pertanyaannya, apa bisa KPU mengubah aturan ini dalam waktu dua hari jelang pendaftaran capres-cawapres," kata Yusril.
Apabila aturan yang digunakan dalam pemilihan capres dan cawapres ini mengandung problem dan cacat hukum, maka produk yang dihasilkannya juga akan cacat hukum dan berpotensi menimbulkan masalah.
"Ini persoalan serius yang harus dipecahkan bersama sehingga pemilihan ini dapat berjalan sesuai aturan yang ada," ujar Yusril.