REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Sebagian cabang organisasi Ikhwanul Muslimin saat ini telah dicap Amerika Serikat sebagai kelompok teroris global. Namun sejarah mencatat bagaimana kuatnya pembelaan kelompok tersebut terhadap kemerdekaan Indonesia, negara mayoritas Muslim yang jauh dari Mesir.
Bukan rahasia bahwa Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Namun di balik pengakuan itu, ada desakan yang masif dari kelompok Ikhwanul Muslimin yang sedari berdirinya pada 1928 memang punya prinsip melawan kolonialisme.
Diplomat Zein Hassan yang diutus melobi dukungan untuk kemerdekaan RI di Timur Tengah merekam pembelaan-pembelaan itu dalam buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri”. Ia mencatat, pada 16 Oktober 1945, bertempat di gedung pusat Perhimpunan Pemuda Islam (Jam'iyah Syubbanul Muslimin) di Kairo. Saat itu, para pemimpin kelompok-kelompok masyarakat dari Mesir dan sekitarnya sepakat membentuk Panitia Pembela Indonesia. Tergabung dalam panitia itu Prof Taufik Syawi dari Ikhwanul Muslimin.
Rapat bersejarah itu menghasilkan resolusi yang salah satu poinnya “Menyerukan kepada semua bangsa Arab dan Islam supaya menyokong R.I. dengan jalan dan cara yang tepat dan menghasilkan.” Selain itu juga “Menuntut semua negara dan terutama negara-negara Arab dan Islam supaya mengakui RI.”
Poin selanjutnya menyatakan “Membentuk satu panitia tetap untuk mengikuti persoalan Indonesia dan mengambil langkah-langkah yang perlu buat menyokong mujahidin Indonesia.” Patut dicatat, para “mujahidin Indonesia” saat itu masih dicap sebagai ekstremis oleh negara-negara Barat.
Sekitar enam bulan setelah proklamasi, aksi selanjutnya dilakukan para mahasiswa di Kairo, utamanya yang merupakan anggota Ikhwanul Muslimin. Saat itu, mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Mesir diminta meneken kwitansi bantuan biaya kuliah dengan keterangan tertulis berasal dari "Her Majesty's Minister, W.S. Graaf van Richten Linbou Ige, as representative in this country of the lawful Government of the Netherlands Indies.' Para mahasiswa menolak karena hal itu sama saja mengakui pemerintah Belanda di Indonesia.
Insiden itu berujung pada rapat umum yang diadakan pada 21 Maret 1946 dengan suara bulat menolak lagi pendaftaran tersebut. Keputusan penolakan pendaftaran kemudian tersiar luas melalui media massa Timur Tengah, dan memicu kemarahan mahasiswa warga Mesir.
Mereka kemudian menggelar aksi demonstrasi di Kedutaan Belanda di Kairo. Para mahasiswa melempari gedung itu dengan bebatuan serta meneriakkan slogan-slogan kemerdekaan Indonesia. “Petugas-petugas Kedutaan itu menjadi ketakutan, sehingga mereka menanggalkan lambang negaranya dari serambi Kedutaan dan menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasanya setiap hari berkibar di puncak perwakilan itu, supaya tidak mudah dikenal para demonstran,” tulis Zein Hassan.