Ahad 15 Oct 2023 14:43 WIB

Pengamat: Deklarasi Projo Tegaskan Dukungan Jokowi untuk Prabowo

Pengamat Ray Rangkuti sebut deklarasi Projo menegaskan dukungan Jokowi untuk Prabowo.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat pembukaan Rakernas 6 Projo di Indonesia Arena GBK. Pengamat Ray Rangkuti sebut deklarasi Projo menegaskan dukungan Jokowi untuk Prabowo.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan saat pembukaan Rakernas 6 Projo di Indonesia Arena GBK. Pengamat Ray Rangkuti sebut deklarasi Projo menegaskan dukungan Jokowi untuk Prabowo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik, Ray Rangkuti menilai, deklarasi dukungan Projo kepada Prabowo Subianto menjawab teka teki sikap Presiden Joko Widodo. Artinya, Jokowi memang mendukung Prabowo untuk Pilpres 2024.

"Terjawab sudah teka teki itu. Seusai Projo menyatakan dukungan kepada Prabowo, Sabtu, 14 Oktober 2023, maka secara tidak langsung, pilihan Pak Jokowi sudah nyata, yakni mendukung Prabowo sebagai capres 2024," kata Ray, Ahad (15/10).

Baca Juga

Ia merasa, saat ini tinggal menunggu keputusan posisi Gibran Rakabuming Raka apakah akan jadi cawapres dari Prabowo atau tidak. Sebab, Projo menjadi organ paling dekat untuk melihat sikap dan arah dukungan Jokowi.

Setelah ini, pendiri Lingkar Madani (Lima) itu merasa, tampaknya akan ada perubahan peta politik nasional. Salah satunya PDIP mengevaluasi keanggotaan Gibran, terlepas dia menjadi cawapres Prabowo atau tidak.

"Kemungkinan besar akan dicabut sebagai anggota PDIP," ujar Ray.

Tapi, ia merasa, keanggotaan Bobby aman. Namun, sulit menjadikan PDIP karir politik masa mendatang. Khususnya, menjelang Pilgub Sumut 2024 nanti dan Bobby berpotensi ke luar dari PDIP dan mencari perahu baru.

Kemudian, keanggotaan Jokowi di PDIP akan dipasifkan walau sementara. Aktivitas dan kemungkinan Jokowi lebih terbuka mendukung Prabowo akan menjadi petunjuk untuk menonaktifkan keanggotaan Jokowi dari PDIP.

Sekalipun dilakukan, baru pada putaran kedua pilpres. Tepatnya, saat popularitas dan dukungan publik terhadap Jokowi akan menurun. Selain itu, PDIP bisa jadi akan menarik satu atau dua anggotanya dari kabinet.

Tentu saja dilakukan tidak dengan resmi. Misal, salah satu mengundurkan diri dari anggota kabinet karena sibuk kampanye untuk capres PDIP dan partai. Seturut itu, Jokowi tidak punya pilihan kecuali menggantinya.

"Maka, peta koalisi akan berubah. PDIP akan mengambil posisi oposisi moderat. Bersama dengannya ada PPP, Nasdem, PKB dan tentu saja PKS," kata Ray.

Mereka yang membentuk oposisi baru ini partai yang berpeluh keringat mendudukan Jokowi sebagai presiden selama dua periode. Bahkan, Ray merasa, kekuatan pemerintah dengan oposisi akan lumayan berimbang.

Jika PDIP, PPP, Nasdem, PKB dan PKS bergabung, maka jumlah kursi di DPR mencapai 314 kursi dan jadi mayoritas. Sementara, jumlah kursi pendukung pemerintah cuma 261 kursi dari kursi Golkar, Gerindra, Demokrat dan PAN.

Terjadi komposisi oposisi yang relatif lebih besar dari partai pendukung pemerintah. Jika ditambah kekecewaan pendukung Jokowi sebelumnya akibat utak atik capres cawapres, tentunya barisan oposisi akan semakin besar.

Maka, semua menanti apakah roda pemerintahan Jokowi stabil hingga akhir masa jabatannya. Bagi Ray, lebih menarik lagi karena komposisi pendukung Jokowi partai-partai yang merupakan kompetitornya di Pilpres 2019 lalu.

"Selain Golkar, seluruh partai pendukung Jokowi di dua pilpres sebelumnya mencari jalan sendiri. Akankah roda pemerintahan akan stabil, kita tunggu selanjutnya," ujar Ray.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement