Selasa 26 Sep 2023 07:18 WIB

Misteri Cawapres Prabowo dan Ganjar serta Peta Koalisi 2024, ini Penjelasannya

Harus ada keberanian menentukan cawapres yang sesuai hati rakyat.

Ilustrasi koalisi parpol
Foto: Republika/ Nawir Arsyad Akbar
Ilustrasi koalisi parpol

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Aditya Perdana, menyatakan koalisi pilpres mengalami kebuntuan akibat ketiadaan kepastian adanya pemenang dalam satu putaran pilpres.

"Hal ini mendorong adanya skema simulasi ataupun skenario dua putaran. Namun skenario yang ada pun tidak mudah dapat dilakukan," kata Aditya Perdana di Kampus UI Depok, Senin (26/9/2023).

Baca Juga

Selain itu, kata dia, tidak adanya kekuatan bacapres dan dukungan parpol yang dominan sehingga memudahkan kompetisi dapat diselesaikan satu putaran.

Hampir semua bacapres yang kuat, yakni Anies Bswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto tidak ada yang memiliki elektabilitas lebih dari 40 persen sehingga peluang kemenangannya masih sulit ditebak dalam satu putaran.

Selain itu, ujar dia, calon yang ada belum sepenuhnya mewakili keragaman sosial dan budaya masyarakat.

Untuk faktor bacawapres tidak ada yang mampu mendongkrak keterpilihan bacapres seandainya berbagai simulasi dilakukan, katanya.

Adapun spekulasi politik yang terus berkembang, kata dia, adalah satu atau dua putaran pilpres dan kaitannya jumlah pasangan bakal calon yang kemungkinan akan mendaftar di KPU.

"Dukungan Pak Jokowi terhadap bacapres tertentu bahkan hingga posisi Kaesang, anak Pak Jokowi, memutuskan sebagai anggota PSI dikait-kaitkan dengan arah 'endorsement' Pak Jokowi," kata Aditya yang juga Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting.

Selain itu, ujarnya, percepatan jadwal pendaftaran capres dan pelaksanaan pilkada terkesan tidak terlepas dari spekulasi.

Sementara, sebagian besar pimpinan elite parpol berkehendak untuk menyelesaikan pilpres dalam satu putaran demi efektifitas dan efisiensi pemilu serentak.

"Artinya, belum ada titik temu yang memuaskan para elite politik dari semua skenario ataupun simulasi yang dikehendaki karena berlawanan dengan suara publik yang tercermin dari berbagai hasil survei elektabilitas para bacapres yang berkembang selama ini," katanya.

Akibat dari stagnan pembentukan koalisi, tambah dia, terlihat jelas sebagian besar elite partai politik cenderung bersikap melihat perkembangan, tidak agresif untuk melakukan manuver dalam pembentukan koalisi, dan seakan menunggu atau bermain aman dalam pencalonan pilpres sehingga publik hanya diminta mengikuti pertunjukan yang sedang dimainkan para elite.

Padahal, katanya, publik yang dimaksud adalah pemilih yang dapat menentukan arah permainan elite. Publik pula yang saat ini tidak sepenuhnya mengikuti irama dan skenario yang diinginkan elite dalam upaya mendorong satu putaran pilpres.

"Kita berharap ada kejutan-kejutan yang lebih baik agar ada upaya memecahkan kebuntuan koalisi agar publik memiliki banyak pilihan yang variatif dalam koalisi pilpres mendatang," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement