REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi masyarakat sipil, yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih, mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana sawit di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) periode 2015-2022.
Mereka pun meminta penanganan dugaan penyelewengan dana sawit terkait insentif biodiesel dan perbuatan melawan hukum dalam penentuan harga indeks pasar (HIP) biodiesel dibuka secara transparan ke publik. Hal itu mengingat dalam pemberian subsidi biodiesel selama ini hanya menguntungkan segelintir korporasi besar industri sawit dan merugikan petani sawit di Indonesia.
BPDPKS sedianya merupakan badan layanan umum yang dibentuk pada 2015 berdasarkan amanat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, untuk menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan. Lembaga tersebut menghimpun dana dari penerimaan pungutan ekspor kelapa sawit.
Namun kenyataannya, dana sawit justru mayoritas diperuntukkan untuk subsidi biodiesel dan mengabaikan fungsi lainnya. Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, alokasi dana sawit untuk subsidi biodiesel sudah dilakukan sejak program B20 hingga B35.
"Subsidi ini telah memberikan keuntungan besar bagi 10 grup perusahaan sawit penerima subsidi selama periode 2019-2021," kata Surambo dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Menurut Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dana yang dihimpun oleh BPDPKS semestinya digunakan untuk membiayai peremajaan sawit rakyat (PSR), sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit, hinggapenyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.
Sayangnya, kata Surambo, sejak 2015 hingga 2023 penggunaan dana perkebunan sawit yang dikelola BPDPKS menunjukkan alokasi yang timpang dan sarat akan indikasi korupsi. Padahal kajian Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) 2023 menunjukkan, penggunaan dana perkebunan sawit untuk kepentingan subsidi biodiesel berkontribusi sangat kecil, yaitu sebesar 1,20 persen.
"Jika dana ini sejak awal dipergunakan untuk program-program sesuai amanat UU Perkebunan, maka secara signifikan akan berkontribusi pada pertumbuhan output sektor perkebunan sawit yaitu tumbuh mencapai 32,31 persen. Sedangkan penggunaan dana untuk subsidi biodiesel hanya meningkatkan pertumbuhan output sektor perkebunan sawit sebesar 3,2 persen," ucap Surambo.
Menurut Surambo mengatakan, total pungutan ekspor CPO pada periode 2019-2021 mencapai angka Rp 70,99 triliun. Dalam periode tersebut, sambung dia, dana subsidi yang disalurkan kepada grup perusahaan sawit yang terintegrasi dengan badan usaha-bahan bakar nabati (BU-BBN) jenis biodiesel sebesar Rp 68 triliun.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien menyebut, dalam perkara itu, penyidik mesti mendalami tujuan dibentuknya lembaga BPDPKS dalam kurun waktu 2015-2022. "Dana BPDPKS harus dikembalikan sesuai khitahnya, yaitu pembiayaan lebih banyak ke hulu untuk peremajaan, pelatihan dan pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan yang membuat produktivitas petani naik, sehingga petani bisa naik kelas," ujar Andi.