Kamis 24 Aug 2023 18:43 WIB

KPAI Sesalkan MK Perbolehkan Kampanye di Sekolah 

KPAI menyesalkan MK memutuskan perbolehkan kampanye di sekolah.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi Kampanye Parpol. KPAI menyesalkan MK memutuskan perbolehkan kampanye di sekolah.
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kampanye Parpol. KPAI menyesalkan MK memutuskan perbolehkan kampanye di sekolah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di sekolah. Sebab, kegiatan kampanye di sekolah berpotensi melanggar hak konstitusional anak/siswa. 

"Putusan MK ini menyadarkan KPAI betapa belum semua pihak awas dan memprioritaskan hak-hak konstitusional anak, yang sering kali tersembunyi di balik kesadaran dan kepentingan dominan orang dewasa," kata komisioner KPAI Sylvana Apituley lewat keterangan tertulisnya yang diterima Republika di Jakarta, Kamis (24/8/2023). 

Baca Juga

Sylvana menjelaskan, sekolah adalah ruang publik netral tempat disemainya nilai-nilai kemanusiaan bagi semua siswa/murid tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi. Karena itu, sekolah harus bebas dari kepentingan politik personal/individual dan golongan. 

Menurut dia, semua bentuk kampanye politik di sekolah, khususnya dalam rangka Pemilu dan Pemilu 2024, adalah penyalahgunaan ruang publik netral. Pelaksanaan kampanye di sekolah berpotensi melanggar hak-hak konstitusional anak sebagaimana dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28B ayat 2. 

"Hak seorang anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," demikian bunyi pasal tersebut. 

Sylvana menjelaskan, ketika sejumlah peserta pemilu atau tim pemenangannya berkampanye di sekolah, apalagi di sekolah dengan jumlah murid pemilih pemula yang besar, tentu mereka akan berupaya memperebutkan suara para siswa. Proses mendapatkan dukungan dari siswa itu sangat potensial diwarnai dengan tindakan manipulasi, eksploitasi, dan penyalahgunaan anak. 

"Selain itu, ancaman kekerasan yang melibatkan massa pendukung peserta Pemilu/Pilkada juga adalah salah satu bahaya yang harus diwaspadai dapat terjadi pada saat kampanye dilaksanakan di sekolah," ujarnya. 

Sekolah, kata dia, seharusnya dijaga agar tetap menjadi ruang publik yang netral dari aktivitas politik elektoral yang sarat dengan kepentingan personal dan kelompok serta tidak bebas dari kekerasan, terutama kekerasan simbolik dan verbal. Sebab  aktivitas kampanye kerap dilakukan dengan cara mengaburkan batas antara imajinasi dengan kenyataan dalam kemasan retorika dan narasi janji-janji kampanye.

"Konten kampanye politik tersebut bukanlah materi kampanye yang sesuai untuk dikonsumsi oleh anak, bahkan tidak untuk anak berusia 17 tahun yang sudah memiliki hak pilih," kata Sylvana. 

Menurutnya, para siswa dan pemilih pemula tidak butuh dijejali dengan materi kampanye peserta pemilu. Mereka seharusnya diberikan pendidikan politik kewarganegaraan dan HAM. "Kampanye politik jelas bukanlah model pendidikan politik yang ideal bagi mereka," ujarnya.

Dia mengatakan, guna mencegah berbagai dampak buruk kampanye di sekolah itu terjadi, KPAI kini terus berkoordinasi dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. KPAI menyampaikan berbagai masukan dalam proses revisi Peraturan KPU tentang Kampanye yang merupakan tindak lanjut atas putusan MK. 

KPAI, kata dia, mengusulkan perubahan regulasi tersebut didasari atas semangat melindungi anak dan pemenuhan hak anak. Beberapa bentuk usulan konkret KPAI adalah membuat aturan detail dan komprehensif terkait kampanye di sekolah serta mengatur sanksi yang tegas bagi peserta pemilu yang melanggar. 

"KPAI juga segera akan mempublikasikan panduan pengawasan pemilu dan pilkada berbasis hak anak yang nantinya dapat digunakan oleh masyarakat luas untuk ikut melakukan pengawasan yang efektif di lapangan," kata Sylvana. 

MK pada Selasa (15/8/2023) membacakan putusan atas perkara nomor 65/PUU-XXI/2023. Inti putusan tersebut, MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye dan mendapatkan izin dari pengelola. 

Putusan tersebut bermula dari masuknya gugatan dari dua warga negara yang mempersoalkan inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah. Sedangkan dalam bagian Penjelasan beleid itu, terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut.

“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan," demikian bunyi bagian Penjelasan itu. 

Pemohon meminta MK menyatakan bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian petitum tersebut. MK menyatakan, bagian Penjelasan pasal itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa "tempat ibadah". 

"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," demikian bunyi putusan MK itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement