Selasa 22 Aug 2023 22:18 WIB

BSSN: Ada 376 Dugaan Kebocoran Data Vital Selama 2022-2023

Saat ini, ancaman di ruang siber bersifat hybrid.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian dalam rapat kerja pembahasan revisi UU ITE bersama Komisi I DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian dalam rapat kerja pembahasan revisi UU ITE bersama Komisi I DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian menjelaskan, tingkat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang tinggi berbanding lurus dengan risiko dan ancaman keamanannya. Bahkan pada medio 2022 hingga Juni 2023, terdapat 376 dugaan kebocoran data sektor infrastruktur informasi vital.

"Di mana terdapat 250 kasus pada tahun 2022 dan 126 kasus pada tahun 2023. Dalam konteks ini yang ingin kami tekankan adalah bahwa BSSN mampu mendeteksi 127 kasus melalui darkweb sebelum menjadi viral di ranah publik," ujar Hinsa dalam rapat kerja pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bersama Komisi I DPR, Selasa (22/8/2023).

Baca Juga

Saat ini, ancaman di ruang siber bersifat hybrid, yaitu mengontrol informasi, spionase, dan sabotase. Sifat serangannya bersifat teknis, yaitu menyerang sistem elektronik itu sendiri. Kemudian serangan bersifat sosial, yang menyerang orang atau manusia yang berinteraksi di ruang siber.

Dari setiap kasus tersebut, BSSN telah memberikan notifikasi kepada penyelenggara sistem elektronik. Namun, sebagian besar notifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti dan menunjukkan tingkat kepatuhan penyelenggaran sistem elektronik yang masih rendah.

"Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kewenangan BSSN untuk tidak dapat memaksa penyelenggara sistem elektronik untuk menindaklanjuti notifikasi insiden siber. Tidak adanya kewenangan BSSN dalam penyidikan dan penindakan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik yang menyebabkan tidak optimalnya penanganan dugaan kasus tersebut," ujar Hinsa.

Karenanya, BSSN menyampaikan sejumlah masukan dalam revisi UU ITE. Salah satunya adalah penguatan kewenangan lembaganya untuk penyidikan dan penindakan tindak pidana di sektor informasi dan transaksi elektronik.

BSSN saat ini tidak memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal tersebut membuat lembaganya tidak dapat langsung melakukan penanganan insiden siber dan pemeriksaan digital forensik digital pada suatu sistem elektronik.

Butuh waktu untuk koordinasi setidaknya lebih dari 1x24 jam. Padahal, kecepatan dan ketepatan adalah kunci dalam melakukan preservasi bukti digital.

Jika BSSN memiliki PPNS, lembaganya dapat melakukan preservasi bukti digital pada suatu sistem elektronik yang terdampak serangan siber. Khususnya dalam melakukan preservasi terhadap serangan siber yang bersifat teknis.

"Pembentukan PPNS di BSSN sebagai optimalisasi peran negara dalam penindakan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. Penindakan tindak pidana teknologi informasi dan transaksi elektronik yang cepat, akurat, dan tuntas demi melindungi kepentingan nasional," ujar Hinsa.

photo
Infografis Jenis Serangan Siber - (republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement