REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, demokrasi di Indonesia mensyaratkan kedaulatan di tangan rakyat. Dahulu sebelum amandemen, sambung dia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan pemerintahan Indonesia dijalankan oleh wakil rakyat hingga golongan.
Saat ini, pemerintah Indonesia dijalankan oleh wakil rakyat lewat DPR dan wakil daerah yang menjadi representasi DPD. Namun, perwakilan golongan masyarakat hingga saat ini belum terealisasi dengan baik dalam penerapannya.
"Ini kita kehilangan satu, yaitu utusan golongan. Inilah yang juga sedang kita dalami dan kaji kembali di MPR untuk dapat kita hadirkan utusan golongan," ujar Bamsoet dalam pidatonya di peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-78 MPR, Jumat (18/8/2023).
Utusan golongan merupakan perwakilan masyarakat Indonesia yang menjadi anggota MPR. Pada era Orde Baru (Orba), utusan golongan diisi oleh perwakilan dari berbagai profesi seperti buruh, guru, petani, nelayan dan lain-lain.
Namun, utusan golongan dihapus setelah amandemen UUD 1945 pada 1999 atau masa reformasi. Keputusan untuk penghapusan utusan golongan itu bermula dari pendapat Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan tokoh Partai Umat Islam Harun Al Rasyid.
Bamsoet kini ingin pemerintah dapat kembali mengakomodasi dan melibatkan lembaga profesi di dalam lembaganya. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar itu ingin mengkaji supaya utusan golongan ini bisa menyampaikan aspirasi dari masyarakat yang diwakilinya.
"Agar organisasi-organisasi keagamaan, agar wartawan, dokter dan profesi-profesi lain dan kelompok-kelompok lain masuk dalam konstitusi kita dan mampu bisa menyalurkan berbagai aspirasinya," ujar Bamsoet.
Di samping itu, ia memberikan, klarifikasinya ihwal wacana amandemen UUD 1945 yang disampaikannya dalam pidato Sidang Tahunan MPR. Salah satu poin pidatonya tersebut adalah mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi.
Dalam peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-78 MPR, Bamsoet menjelaskan, bahwa ia membicarakan soal dikembalikannya kewenangan lembaganya. Khususnya, terkait kewenangan subjektif superlatif.
"MPR kemarin sudah ramai dibicarakan, padahal kita hanya bicara tentang kewenangan yang bisa kita harapkan kembali dimiliki oleh MPR. Kewenangan subjektif superlatif agar kita MPR mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak ada jalan keluarnya di konstitusi kita," ujar Bamsoet.
Hari lahir MPR...