Kamis 17 Aug 2023 19:45 WIB

PSHK: Rencana Amendemen Kelima UUD 1945 tidak Mendesak

PSHK menilai rencana amandemen kelima UUD 1945 tidak mendesak.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Bilal Ramadhan
UUD 1945 (ilustrasi). PSHK menilai rencana amandemen kelima UUD 1945 tidak mendesak.
Foto: petapolitik.com
UUD 1945 (ilustrasi). PSHK menilai rencana amandemen kelima UUD 1945 tidak mendesak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai rencana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tidak mendesak. Terdapat empat alasan utama yang pada wacana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menggulirkan rencana yang digulirkan pada Sidang Bersama MPR RI, Rabu (16/8/2023) kemarin.

"Pertama, usulan untuk menghidupkan kembali pokok-pokok haluan negara, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan mengembalikan utusan golongan dan utusan daerah dalam MPR, sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia saat ini, bahkan cenderung melemahkan sistem presidensial yang telah dibangun di era reformasi," kata peneliti PSHK Fajri Nursyamsi dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis (17/8/2023).

Baca Juga

Menurut PSHK, gagasan itu bukan merupakan solusi yang tepat untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan penyerapan aspirasi publik dalam pembangunan dan pembentukan kebijakan. Kedua, usulan penundaan pemilu harus didukung dengan argumentasi yang patut (proper) dan masuk akal (reasonable), sehingga penting untuk menyusun dan menyebarluaskan kajian yang komprehensif.

Selain itu, gagasan penundaan pemilu melalui amendemen UUD 1945 sebaiknya tidak untuk mengakomodasi kebutuhan pragmatis jangka pendek, mengingat akan berpotensi menimbulkan bencana konstitusional (constitutional disaster) bagi proses demokrasi elektoral. Alih-alih mengupayakan penundaan, MPR seharusnya memberikan dukungan penuh agar agenda lima tahunan tersebut berjalan sesuai dengan amanat konstitusi.

"Lalu ketiga, MPR, yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD periode 2019-2024, semestinya lebih fokus pada upaya memperbaiki proses pembentukan dan substansi legislasi," kata Fajri.

Problem prosedural seperti pelibatan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), aksesibilitas dokumen, transparansi dokumen dan proses pembentukan, serta akuntabilitas proses pembentukan undang-undang masih menjadi persoalan esensial demokrasi yang tidak direspons dengan baik. Hal itu tecermin pada pembentukan UU Kesehatan dan Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.

Selain itu, performa pencapaian legislasi di DPR masih tidak memuaskan. Ketua DPR menyampaikan dalam Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2023, bahwa dari 2019 hingga ditutupnya masa sidang ke-5 tahun 2022-2023, DPR dan Presiden sudah menyelesaikan 64 RUU menjadi UU.

"Tapi, apabila dibandingkan dengan jumlah RUU prioritas pada 2019-2024, yaitu sebanyak 259 RUU, capaian itu baru mencapai 25 persen, padahal sisa jabatan mereka tersisa hanya satu tahun dan lebih dari itu, jumlah 64 UU itu tidak seluruhnya merupakan UU yang diprioritaskan pada Program Legislasi Nasional 2019-2024," kata dia.

Berdasarkan catatan PSHK, hanya ada 46 RUU dari 64 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2019-2024; 13 RUU disahkan di 2020, 16 RUU disahkan di 2021, 15 RUU disahkan di 2022, dan 2 RUU yang baru disahkan di 2023. Adapun 18 RUU lainnya merupakan RUU kumulatif terbuka yang tidak direncanakan sejak awal, seperti pemekaran wilayah Papua dan pembentukan pengadilan tinggi.

Meski pembahasan RUU prioritas tahun 2023 belum usai, catatan PSHK menunjukkan besarnya potensi capaian pengesahan RUU tidak mencapai target. Catatan PSHK menunjukkan, RUU yang tertunda pembahasannya berjumlah dua kali lipat dari RUU yang sedang dalam tahap penyusunan maupun pembahasan bersama DPR dan Presiden.

Alasan keempat, tanpa adanya komitmen dan tindakan untuk menyempurnakan aspek partisipasi publik yang bermakna, aksesibilitas, transparansi, dan akuntabilitas pembentukan undang-undang, amendemen konstitusi hanya akan menjadi forum konsolidasi elite politik untuk melanggengkan kuasa melalui penyalahgunaan kewenangan konstitusional atau autocratic legalism.

PSHK khawatir perubahan-perubahan fundamental dalam UUD 1945 yang diwacanakan dijalankan dengan mengesampingkan nilai-nilai partisipasi publik yang bermakna dan penguatan ketatanegaraan, sehingga berpotensi menghadirkan amendemen konstitusi yang inkonstitusional.

"Jadi, PSHK mendesak MPR untuk menghentikan upaya amendemen UUD 1945, utamanya terkait penghidupan kembali pokok-pokok haluan negara, menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara, dan mengembalikan utusan golongan dan utusan daerah di MPR," kata Fajri.

PSHK juga meminta DPR dan DPD fokus untuk memastikan pemilu serentak tahun 2024 terlaksana pada Februari 2024 secara luberjurdil. DPR dan DPD juga diminta untuk fokus dan berkomitmen menyelesaikan perencanaan legislasi pada Prolegnas 2019-2024, serta terus meningkatkan upaya mewujudukan nilai-nilai partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), transparansi, aksesibilitas, dan akuntabilitas dalam pembentukan undang-undang secara menyeluruh.

MPR menggulirkan wacana amendemen yang ditujukan, salah satunya, untuk  mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Selain itu, amendemen konstitusi juga dimaksudkan untuk menunda pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024 dengan alasan negara menghadapi kondisi darurat, seperti bencana alam, peperangan, pandemi, ataupun krisis ekonomi.

Tidak sekali ini wacana perubahan konstitusi digaungkan oleh elite politik mendekati perhelatan Pemilu 2024. Isu lain yang pernah terdengar, antara lain, tentang perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden, menghidupkan kembali pokok-pokok haluan negara, mengadakan kembali unsur utusan golongan dan utusan daerah dalam MPR, dan penambahan klausul udara angkasa dikuasai sepenuhnya oleh negara dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

"Gagasan amendemen UUD 1945 yang diusulkan saat ini tidak mendesak dan justru menunjukkan kemunduran yang kental dengan otoritarianisme. Selain itu, usulan amandemen UUD 1945 juga tidak mengindikasikan upaya penguatan ketatanegaraan, rule of law, dan demokrasi di Indonesia," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement