Senin 10 Nov 2025 09:22 WIB

Siapa Rahmah el-Yunusiah yang Digelari Pahlawan Nasional Hari Ini?

Rahmah el-Yunusiah adalah perempuan pertama yang diberi gelar syaikha oleh Al-Azhar.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Fitriyan Zamzami
Rahmah el-Yunusiah, ulama perempuan dari Padang Panjang, Sumatera Barat.
Foto: google.com
Rahmah el-Yunusiah, ulama perempuan dari Padang Panjang, Sumatera Barat.

Oleh Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Indonesia memiliki seorang ulama perempuan cemerlang yang menginspirasi dunia. Dialah Rahmah el- Yunusiah. Sosok kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, ini disebut sebagai Muslimah pertama awal abad ke-20 yang menyuarakan emansipasi kaum hawa di Tanah Air. Rahmah el-Yunusiah adalah satu dari sepuluh tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional pada Senin (10/1/2026) ini.

Baca Juga

Dalam buku Tentang Perempuan Islam, Wacana dan Gerakan, nama tokoh Minangkabau itu mengemuka karena pemikiran dan kiprahnya di dunia pendidikan modern. Sosok yang wafat di Padang Panjang, Sumatra Barat, 26 Februari 1969 itu berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah Muhammad Yunus bin Imanuddin. Sedangkan ibunya adalah Rafiah. Dari garis ibu, keturunannya berhulu di nagari IV Angkat, Bukittinggi.

Rahmah el-Yunusiah merupakan pendiri Madrasah Diniyah lil Banat (Diniyah Putri) di kota kelahirannya tersebut. Lembaga itu merupakan sekolah agama Islam pertama khusus untuk Muslimah di Indonesia. Bagi perempuan yang lahir pada 20 Desember 1900 itu, pendidikan merupakan kunci emansipasi. Dengan begitu, sekolah Diniyah Putri sejak awal dirancang untuk mewujudkan peningkatan derajat kaum perempuan di tengah masyarakat, khususnya umat Islam.

Memasuki abad ke-20, nusantara mengalami "demam" modernisme. Semangat kemajuan (progress) menjalar terutama dari kota-kota penting di Indonesia. Kaum terpelajar gemar mengkaji pemikiran-pemikiran di luar konvensi tradisi generasi tua.

Di Sumatra, Ranah Minang mengambil peran penting lantaran daerah ini memiliki jumlah kaum terdidik dan pedagang yang cukup signifikan. Bila di Jawa ada nama-nama semisal Raden Ajeng Kartini, Rahmah el-Yunusiah di Sumatra Barat cenderung menghubungkan emansipasi kaum perempuan dengan syariat Islam, alih-alih menyoroti budaya lokal.

photo
Petugas memperlihatkan kitab yang rusak dan yang masih utuh saat proses digitalisasi manuskrip di Padang, Sumatera Barat, Rabu (12/7/2023). - (Antara/Muhammad Arif Pribadi)

Di awal-awal abad ke-20, Sumatra Barat subur dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam modern. Selain Diniyah Putri, berpuluh tahun sebelumnya pada 1909 berdiri Sekolah Adabiyah di Padang dan Sumatra Thawalib yang awalnya adalah kelompok pegiat pendidikan yang digagas Zainuddin Labai el-Yunusi (kakak kandung Rahmah) dan kaum terdidik Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, pada 1913.

Pembina surau tersebut adalah ayahanda Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul. Rata-rata, para penggagas lembaga-lembaga pendidikan modern Islam di Ranah Minang pada masa itu pernah berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam sekaligus pengajar mazhab Syafii di Masjid al-Haram, Makkah.

Rahmah tidak berupaya memperhadapkan kaum adam dan kaum hawa, melainkan menyelaraskan kemajuan keduanya dalam dakwah Islam. Kegigihannya menggema hingga ke Jawa. Bagi Ki Hadjar Dewan tara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, perempuan tersebut terbilang istimewa. Sebab, Diniyah Putri Padang Panjang terbentuk atas inisiatif pribadi Rahmah, bukan kelompok organisasi tertentu.

Mendirikan sekolah khusus perempuan adalah cita-citanya sedari kecil. Awalnya, Rahmah menyampaikan maksudnya itu kepada sang kakak, Zainuddin Labai el- Yunusi. Sebab, dia merasa tergugah lantaran kakak lelakinya itu ikut merintis sekolah yang terbilang maju di Minang, Sumatra Thawalib. Ternyata, Zainuddin mendukung keinginan adiknya itu. Rahmah kemudian mengajak kawan-kawannya di persatuan murid Diniyah School. Maka pada 1 Novem ber 1923, Diniyah Putri Padang Panjang terbentuk dengan diketuai Rahmah el-Yunusiah.

Pada awalnya, Diniyah Putri hanya memiliki murid 71 orang. Mereka adalah perempuan yang belum lama menikah atau memiliki anak-anak masih balita. Hingga akhir masa hidupnya, Zainuddin terus mendukung kelangsungan Diniyah Putri dan membesarkan hati Rahmah, adiknya.

photo
Syaikha Rahmah el-Yunusiah (tengah) bersama pengajar di Diniyah Putri Padang Panjang - (Public Domains)

Saat itu, aktivitas pengajaran masih terpusat di Masjid Pasar Usang, Padang Panjang. Dua tahun kemudian, Rahmah berinisiatif membangun gedung baru untuk Diniyah Putri. Rencana ini sempat terkendala musibah gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat pada 28 Juni 1926. Namun, semangat Rahmah tidak kenal surut.

Hanya berselang sekitar satu bulan kemudian, Rahmah memulai pembangunan kembali asrama Diniyah Putri, kali ini di atas tanah wakaf milik ibundanya, Ummi Rafiah.

Dalam sebuah suratnya, Rahmah el-Yunusiah mengungkapkan tekadnya untuk memajukan pola pikir kaum perempuan melalui pendidikan: "Telah terpatri di mata hati saya akan menyampaikan cita-cita Diniyah School Putri ini juga akan menyampaikan tujuan Diniyah School Putri ini, untuk seluruh anak bangsanya, Putri Islam Indonesia ini."

Upayanya ini mengundang simpati banyak orang. Keluarga besarnya dari Aceh, Sumatra Utara, dan Malaysia, ramai-ramai menyumbangkan harta dan pemikirannya demi keberlangsungan Diniyah Putri. Itu terutama dalam masa-masa kritis pada 1927.

Rahmah, dengan keluasan jaringan pertemanannya, kerap menjumpai para raja-raja Melayu untuk menjelaskan pentingnya pergerakan pendidikan bagi kaum perempuan. Pada periode 1930-an, kesulitan keuangan lembaga tersebut cukup terbantu dengan dibentuknya Centraal Comite Penolong Diniyah Putri yang dipimpin H Agus Salim.

Sepanjang hayatnya, Rahmah el-Yunusiah memilih sikap tidak-bekerja sama (non-kooperasi) terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dia tidak sudi menukarkan jerih payahnya itu dengan ketundukan kepada sistem Belanda.

Melawan Diskriminasi...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement