REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengingatkan kembali kepada DPR tentang urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset. Ketua DPP PSI Ariyo Bimmo perlu mengungkit hal itu menyikapi status tersangka anggota Fraksi PDIP dan Komisi I DPR Ismail Thomas oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Kejadiannya tahun 2021 pada saat tersangka sudah menjadi dewan, pada suatu kasus Perdata yang ada kaitannya dengan megakorupsi Jiwasraya. Ini seperti cerita bersambung," kata Ariyo Bimmo dalam keterangannya di Jakarta, dikutip pada Kamis (17/8/2023).
Ismail menjadi tersangka terkait dugaan memalsukan dokumen yang dijadikan alat bukti dalam persidangan sengketa lahan antara PT Sendawar Jaya dan sejumlah pihak, termasuk Kejagung. Pemalsuan itu terkait kedudukan tersangka sebagai bupati Kutai Barat periode 2006-2016.
"Apabila terbukti bahwa pemalsuan dilakukan ketika Ismail Thomas menjabat, maka sangat mungkin uang hasil kejahatan tersebut digunakan yang bersangkutan untuk mengikuti Pemilihan Anggota Legislatif 2019," kata Bimmo.
Menurut dia, kasus yang menjerat Ismail dapat membuka mata publik, uang haram yang masih beredar akan mengantarkan seseorang kepada kekuasaan. Konsekuensinya, yang bersangkutan berpotensi melakukan kejahatan, seperti korupsi demi bisa terus menjaga status quo.
Atas dasar itu, Bimmo merasa menyadari penghuni Senayan tidak mau buru-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. "Terlihat jelas sebab-sebab DPR enggan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Bisa-bisa banyak anggota yang tidak bisa mencalonkan kembali," ujar Bimmo.
Dia menilai, kasus itu dapat menjadi momentum untuk kembali mendesak DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset sebelum Pemilu 2024. Partai politik juga sebaiknya bertindak keras terhadap siapa pun, termasuk anggotanya yang melakukan korupsi.
Apalagi, biasanya banyak kasus korupsi menjelang pemilu. "Supaya Pemilu (2024) lebih fair. Sangat tidak lucu bila 2024 masih marak politik uang, apalagi menggunakan uang haram," ucap Bimmo.