Selasa 15 Aug 2023 15:58 WIB

Akal-Akalan Susutkan Denda Para Konsorsium Proyek BTS 4G

Sidang ungkap praktik menyimpang turunkan denda bagi konsorsium penggarap proyek BTS.

Terdakwa dugaan kasus korupsi proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G Kominfo Johnny G Plate (tengah).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa dugaan kasus korupsi proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G Kominfo Johnny G Plate (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Antara

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BAKTI Elvano Hatorangan mengungkapkan adanya permainan di ranah penentuan denda bagi konsorsium penggarap proyek BTS 4G. Elvano menyebut kongkalikong itu dilakukan atas arahan eks Dirut BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif. 

Baca Juga

Hal itu dikatakan oleh Elvano saat bersaksi dalam kasus BTS 4G di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Elvano memberi keterangan untuk terdakwa eks Menkominfo Johnny G Plate, Anang Achmad Latif, dan Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia tahun 2020 Yohan Suryanto yang terjerat kasus BTS 4G.

"Menyangkut masalah denda kemarin, denda awalnya 346 miliar terus kenapa jadi 87 miliar pak?" tanya hakim ketua Fahzal Hendri dalam sidang tersebut. 

"Jadi pada saat kita perhitungan denda itu, saya dan tim waktu itu menghitung denda kemudian pak Anang menghampiri kami dan pada saat itu menanyakan kepada kami berapa besar nilai dendanya? Kemudian saya sampaikan kepada pak Anang bahwa nilai dendanya 300 sekian. Lalu pak Anang sampaikan bahwa itu terlalu besar bagi penyedia," jawab Elvano. 

Elvano mengakui ada mekanisme untuk menghitung denda hingga mencapai Rp346 miliar. Namun denda tersebut kemudian menciut sampai tinggal Rp87 miliar karena arahan Anang Achmad Latif. 

"Itu berarti tidak sesuai dengan aturan yang di tanda tangan dikontrak?" tanya Fahzal. 

"Iya, betul," jawab Elvano. 

"Tidak sesuai, masih juga diberikan keringanan, tiga konsorsium itu. Kan begitu pak?" cecar Fahzal. 

"Iya," jawab Elvano. 

Majelis hakim lantas heran dengan denda yang menyusut sangat jauh. Elvano menjelaskan denda sejumlah Rp87 miliar itu sudah diterima oleh BAKTI. Masing-masing paket pengerjaan jumlah dendanya berbeda. 

"Untuk paket 1 itu 24 miliar, paket 2 itu 21 miliar, paket 3 itu 15 miliar, paket 4 itu 10 miliar, paket 5 itu 14 miliar dengan total 87 miliar," ucap Elvano. 

"87 miliar, itu jadinya?" tanya Fahzal memastikan. 

"Iya," jawab Elvano. 

Elvano menerangkan perhitungan denda yaitu satu per seribu dari sisa keterlambatan dengan maksimum 5 persen. Namun, aturan itu tak diterapkan atas perintah Anang Latif dengan dalih dampak Covid-19. 

"Pada saat itu Pak Anang memerintahkan kami untuk melakukan perhitungan denda berdasarkan dampak covid juga, PPKM dan sebagainya," ujar Elvano. 

Elvano menyebut pengurangan denda didasari surat edaran terkait pemberlakuan PPKM. 

"Jadi dari surat edaran PPKM yang diterbitkan pemerintah daerah kemudian kita menyimpulkan bahwa ada hari yang tidak bisa dilakukan pekerjaan. Jadi itu menjadi hari pengurang dendanya," ujar Elvano.

"Jadi ada hitung hitungan sendiri itu, diperbolehkan atau tidak menyimpang dari kontrak itu pak?" tanya hakim ketua Fahzal Hendri dalam sidang itu. 

"Menyimpang yang mulia," jawab Elvano. 

"Diperbolehkan apa tidak itu yang saya tanya?" cecar Fahzal. 

"Tidak," jawab Elvano. 

Fahzal langsung menyindir Elvano yang meneruskan praktik salah tersebut. Fahzal mengingatkan konsorsium sudah menyepakati kontrak berisi denda yang mesti dibayarkan kalau proyek tak berjalan sebagaimana mestinya. 

"Kontrak itu ditandatangan untuk disepakati pak sama dengan UU juga kontrak...Perjanjian yang dibuat oleh para pihak merupakan UU bagi mereka yang membuatnya. Itu lho pak, itu dalam lingkup perdata," ujar Fahzal. 

Fahzal merasa heran karena Elvano seolah tak memahami hal mendasar semacam itu. 

"Saudara nggak paham itu? Tanda tangan diubah-ubah, didenda pun dimainkan, itu lho pak nggak sesuai, bertentangan dengan UU. Itu kan sudah disepakati denda itu di dalam kontrak, bener nggak itu?" tanya Fahzal. 

"Iya yang mulia," jawab Elvano

Dalam perkara ini, Johnny G Plate Dkk didakwa merugikan negara hingga Rp8 triliun. Kerugian ini muncul dari kasus korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo Tahun 2020-2022 yang melibatkan Johnny dan lima terdakwa lainnya.

Kelima orang tersebut adalah Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif, Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia tahun 2020 Yohan Suryanto, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak, Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment Mukti Ali, dan Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan.

"Bahwa perbuatan terdakwa Johnny Gerard Plate, bersama dengan Anang Achmad Latif, Yohan Suryanto, Irwan Hermawan, Galumbang Menak Simanjuntak, Mukti Ali, Windi Purnama dan Muhammad Yusrizki Muliawan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp8.032.084.133.795,51," kata JPU dalam persidangan pada 27 Juni 2023.

Atas tindakan tersebut, JPU mendakwa Johnny Plate, Anang dan Yohan dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement