Selasa 15 Aug 2023 04:54 WIB

Aksi Pemerintah Atasi Polusi Udara Jakarta Jangan Hanya di Tataran Politik  

Masalah polusi udara di Jakarta bukan hal yang terjadi secara tiba-tiba.

Kondisi polusi di langit Jakarta terlihat dari Gedung Perpustaakan Nasional, Jakarta, Senin (14/8/2023). Pemerintah menilai kondisi polusi udara di Jakarta sudah berada diangka 156 dengan keterangan tidak sehat. Hal tersebut diakibatkan emisi transportasi, aktivitas industri di Jabodetabek serta ondisi kemarau panjang sejak tiga bulan terakhir. Presiden Joko Widodo merespon kondisi tersebut dengan menginstruksikan kepada sejumlah menteri dan Gubernur untuk segera menangani kondisi polusi udara dengan memberlakukan kebijakan WFH untuk mengatasi emisi transportasi, mengurangi kendaraan berbasi fosil dan beralih menggunakan transportasi massal, memperbanyak ruang terbuka hijau, serta melakukan rekayasa cuaca.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kondisi polusi di langit Jakarta terlihat dari Gedung Perpustaakan Nasional, Jakarta, Senin (14/8/2023). Pemerintah menilai kondisi polusi udara di Jakarta sudah berada diangka 156 dengan keterangan tidak sehat. Hal tersebut diakibatkan emisi transportasi, aktivitas industri di Jabodetabek serta ondisi kemarau panjang sejak tiga bulan terakhir. Presiden Joko Widodo merespon kondisi tersebut dengan menginstruksikan kepada sejumlah menteri dan Gubernur untuk segera menangani kondisi polusi udara dengan memberlakukan kebijakan WFH untuk mengatasi emisi transportasi, mengurangi kendaraan berbasi fosil dan beralih menggunakan transportasi massal, memperbanyak ruang terbuka hijau, serta melakukan rekayasa cuaca.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Ratna Ajeng Tejomukti, Muhyiddin

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengkritisi upaya pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya. Menurut dia, upaya yang dilakukan pemerintah dinilai hanya bergerak di tataran politik.

Baca Juga

Hal itu disampaikan menanggapi tidak maksimalnya kebijakan penerapan uji emisi kendaraan, alih-alih menerapkan work from home (WFH) untuk atasi masalah polusi udara. Terlebih mengenai gugatan yang dimenangkan oleh warga pada 16 September 2021 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai hak atas udara bersih, yang justru dilawan oleh pemerintah sendiri.

“Yang digugat mulai dari Presiden, menteri, sampai gubernur, apa yang terjadi? Mereka bukannya melaksanakan putusan itu, malah kasasi. Kalau kasasi berarti memperpanjang lagi. Kalau gugatan publik ya putusannya tinggal dilaksanakan kenapa malah kasasi? Ini kan menunjukkan ketidakseriusan. Jadi dalam hal ini kita melihat memang pemerintah selalu bermain di tataran politik saja,” kata Trubus kepada wartawan saat berkunjung ke Balai Kota DKI Jakarta, Senin (14/8/2023).

Trubus sangat menyayangkan sikap pemerintah melayangkan kasasi karena hal itu menunjukkan bentuk ketidakberpihakan pemerintah pada publik. Pengajuan kasasi diketahui dilakukan pada 13 Januari 2023. Pengajuan kasasi itu hingga saat ini masih berproses, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) selaku penggugat masih menunggu hasilnya.

Lalu, ketidakseriusan juga terlihat dari adanya kebijakan pemberlakuan uji emisi kendaraan yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Beleid yang mengatur itu adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan. Menurut Trubus, pergub itu sudah cukup komplet sebagai upaya untuk mengendalikan pencemaran udara, namun tidak direalisasikan.

“Pergub 66 tahun 2020, sudah ada di situ, sudah mengatur semua tinggal diterapkan. Selama ini kan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh, akibatnya persoalan polusi muncul seolah-olah ada kebakaran jenggot,” tutur Trubus.

Sementara itu, terkait dengan WFH yang diinstruksikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada Senin (14/8/2023), Trubus mengungkapkan, bahwa WFH tidak akan efektif untuk mengendalikan pencemaran udara di Ibu Kota dan wilayah sekitarnya. Kebijakan itu dinilai sulit diterapkan karena dampaknya luas pada produktivitas pekerja dan perusahaan, terlebih pada perusahaan swasta yang sifatnya hanya bisa berupa imbauan.

Kan kalau swasta, pemerintah juga harus memberikan kompensasi kepada swasta dong. Enggak bisa kebijakan itu seolah kamu harus patuh, yang ada paling cuma surat edaran atau imbauan. Kalau seperti itu ya enggak efektif,” tutur Trubus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement