REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setahun setelah terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) semakin banyak korban kekerasan seksual yang mulai berani bicara dan melapor kasus kekerasan seksual. Keberanian ini hadir karena UU TPKS tidak hanya fokus terhadap sanksi yang diberikan kepada pelaku, tetapi juga memberikan perhatian dan perlindungan serius kepada korban. Aturan dalam UU TPKS bukan hanya melindungi korban kekerasan seksual tetapi juga memastikan hak-hak korban kekerasan seksual dipenuhi.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati mengungkapkan, UU TPKS sangat komprehensif karena mengatur dari hulu sampai hilir mulai dari pencegahan, penanganan ketika ada kasus, pemulihan dan pelindungan bagi korban, dan penegakan hukum. Bahkan UU TPKS juga memberikan ruang-ruang pemberdayaan bagi korban kekerasan seksual yang juga menjadi bagian yang sangat penting.
Ratna menilai semangat dari UU TPKS ini adalah memberikan kepentingan terbaik bagi korban yang harus dipastikan mendapatkan pelayanan komprehensif, integratif, akurat dan sesuai dengan kebutuhan korban. Oleh karena itu, kampanye semangat ‘dare to speak’ ini terus pihaknya lakukan.
"Ketersediaan hotline SAPA 129 merupakan bukti kehadiran negara bagi para Korban Kekerasan Seksual untuk melaporkan kasusnya dengan jaminan atas keamanan, kenyamanan, dan perlindungan atas identitas sebagai pelapor berdasarkan SOP layanan yang sudah ada. Jadi Jangan ragu untuk melapor,” ucap Ratna saat menjadi pembicara Webinar “Dare to Speak Up: Yuuk Pahami UU TPKS” di Jakarta, seperti dinukil pada Sabtu (12/8/2023).
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah yang juga menjadi pembicara webinar ini meminta semua pihak meningkatkan level kewaspadaan terhadap masih maraknya kekerasan seksual.
Dirinya meminta, Pemerintah mengintensifkan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual sebagai kejahatan yang nyata serta sudah berada kondisi yang mengkhawatirkan. Ia juga mendorong agar publik memanfaatkan fasilitas dan ruang-ruang publik yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyosialisasikan kampanye melawan kekerasan seksual dan UU TPKS, termasuk di dunia pendidikan (sekolah dan kampus), ruang-ruang keagamaan dan ruang publik lainnya.
“Ayo kita mulai melek. Literasi tentang kekerasan seksual harus kita galakkan. Termasuk sosialisasi melalui platform digital misalnya lewat pesan di handphone agar edukasi dan sosialisasi bahaya kekerasan seksual bisa lebih masif lagi,” kata Luluk.
Hal senada disampaikan publik figur yang juga aktivis perempuan Happy Salma. Ia mengapresiasi Kementerian PPPA yang menggelar forum diskusi terkait kekerasan seksual dan UU TPKS. Menurutnya, kehadiran UU TPKS ini menandakan negara hadir mencegah kekerasan seksual dan melindungi para korban.
“Sosialisasi pencegahan kekerasan seksual dan UU TPKS ini harus lebih agresif lagi terutama di ruang-ruang publik. Sehingga ke manapun orang menoleh, mendapat informasi soal bahaya kekerasan seksual dan negara hadir melindungi para korban kekerasan,” ujarnya menambahkan.
Sebelumnya, Komnas Perempuan telah mencatat terdapat sejumlah hambatan dalam menerapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), salah satunya belum disosialisasikan-nya UU tersebut ke seluruh aparat penegak hukum.
"UU TPKS belum disosialisasikan ke seluruh aparat penegak hukum," kata Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, demikian dilansir dari Antara.