REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menganggap langkah pihaknya mengadukan semua komisioner KPU RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan sesuatu yang lumrah. Aduan dilayangkan karena KPU tak kunjung memberikan akses kepada Bawaslu RI untuk melihat dokumen persyaratan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024.
"Ini (pengaduan ke DKPP merupakan) hubungan yang harus dilakukan, dan menurut saya jangan kemudian adem-ayem," kata Bagja kepada wartawan di Jakarta, Rabu (9/8/2023).
"Kalau misalnya KPU dan Bawaslu itu adem-ayem, mohon maaf, itu jangan-jangan sudah selesai di dalam. Kami mengkritisi satu sama lain," kata Bagja menambahkan.
Menurut Bagja, dibuatnya pengaduan tersebut bukan berarti hubungan Bawaslu dan KPU sebagai sesama penyelenggara pemilu menjadi memburuk. Sebab, "pertikaian" ini terjadi karena KPU dan Bawaslu punya pandangan berbeda terkait akses dokumen bakal caleg.
Bagja menyebut, pihaknya sudah empat kali melayangkan surat protes kepada Bawaslu yang isinya meminta akses dokumen caleg diberikan. Pembicaraan informal juga sudah dilakukan. Namun, semua upaya itu gagal.
Alhasil, Bawaslu terpaksa membuat pengaduan ke DKPP. Bagja mengaku telah menyampaikan hal ini kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari sebelum aduan dilayangkan secara resmi.
"Kita bertarung adu pendapat, tapi tetap menghargai pendapat. Kami menghargai pendapat KPU dan KPU juga menghargai pendapat Bawaslu. Siapa pemutusnya, ya kembali ke DKPP. Orang ketiga dalam hubungan, karena masing-masing ini memiliki pendapat," kata Bagja.
Bawaslu RI mengadukan semua komisioner KPU ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik terkait akses dokumen bakal caleg pada Senin (7/8/2023). "Semua (tujuh komisioner KPU) diadukan," kata Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi ketika dikonfirmasi wartawan, Selasa (8/8/2023).
Raka belum bisa menjelaskan dugaan pelanggaran atas pasal apa yang diadukan Bawaslu RI. Dia hanya mengatakan bahwa aduan tersebut sedang diproses berdasarkan Peraturan DKPP tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Menanggapi aduan tersebut, Ketua KPU Hasyim mengatakan bahwa posisi lembaganya memang selalu menjadi "Ter" dalam sejumlah proses peradilan pemilu. KPU bisa menjadi terlapor di Bawaslu, termohon di Bawaslu, tergugat di PTUN, termohon di Mahkamah Konstitusi, dan anggota KPU bisa menjadi teradu di DKPP.
"Dengan begitu, KPU selalu siap dalam segala kondisi dan posisi apa pun khususnya ketika berhadapan dengan lembaga lain dalam suatu proses peradilan," kata Hasyim kepada wartawan, Selasa (8/8/2023).
Pengaduan ini dibuat setalah Bawaslu tidak mendapatkan akses memadai melihat dokumen bakal caleg selama hampir tiga bulan. Persoalan ini mencuat usai KPU menerima berkas pendaftaran bakal caleg dari partai politik pada 1-14 Mei.
Ketika KPU melakukan verifikasi administrasi terhadap dokumen tersebut, Bawaslu RI mengaku tidak diberikan akses untuk melihat berkas-berkas itu di kanal Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU. Alhasil, Bawaslu kesulitan mengawasi proses verifikasi, termasuk pengawasan terhadap keaslian ijazah para bakal caleg.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari pada 26 Juli lalu menyatakan, pihaknya sudah membalas surat protes keempat Bawaslu RI. Dalam surat balasan itu, Hasyim mengatakan hanya membuka akses Silon kepada Bawaslu RI apabila pengawas pemilu memiliki laporan dan temuan awal.
Hasyim mengatakan, pihaknya tidak bisa memberikan akses menyeluruh kepada Bawaslu RI karena dokumen persyaratan bakal caleg sepenuhnya tanggung jawab KPU dan partai politik yang mendaftarkan. Selain itu, KPU harus berhati-hati memberi akses Silon kepada pihak di luar KPU dan partai politik, karena sistem informasi itu memuat sejumlah data pribadi.
Rahmat Bagja mengatakan, kebijakan KPU memberikan akses hanya ketika Bawaslu punya temuan dugaan pelanggaran itu janggal. Sebab, bagaimana mungkin Bawaslu menemukan dugaan pelanggaran ketika Bawaslu tidak bisa melihat dokumen persyaratan bakal caleg. "Enggak ada temuan awal kalau Silon tidak dibuka," kata Bagja