Rabu 02 Aug 2023 21:34 WIB

PB IDI: Apakah Kemenkes Sudah Bebas dari Bullying? Jawabnya Nggak!

Pengurus PB IDI menyindir Kemenkes yang nyatanya juga belum bebas dari bullying.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Bilal Ramadhan
Office Bullying. Ilustrasi. Pengurus PB IDI menyindir Kemenkes yang nyatanya juga belum bebas dari bullying.
Foto: Wikipedia
Office Bullying. Ilustrasi. Pengurus PB IDI menyindir Kemenkes yang nyatanya juga belum bebas dari bullying.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Iqbal Mochtar, kecewa atas kisah seram bullying terhadap tenaga kesehatan dan dokter seperti yang telah dinyatakan Kementerian Kesehatan. Iqbal mengatakan, memang ada kejadian bullying terhadap nakes atau dokter dari seniornya, namun hanya sedikit dan bisa dikategorikan oknum.

Dia mengatakan, perlakuan beberapa oknum tidak bisa mengeneralisir suatu komunitas, dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan.

Baca Juga

“Bullying ini tidak akan pernah benar-benar punah dalam kehidupan manusia. Karena ia terkait superiority complex. Enggak usah jauh-jauh, apakah Kementerian dan institusi formal yang gandrung berteriak tentang bullying sudah bebas dari bullying? Jawabnya enggak,” kata Iqbal dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu (2/8/2023).

Iqbal mengatakan, contoh bullying terhadap dokter PPDS seperti pernyataan Menkes Budi Gunadi, dari diperbantukan membuat tugas, traktir makan senior atau ikut kegiatan olahraga seharusnya bisa dipandang bagian kedisiplinan. Ihwal contoh tersebut, dia menyindir bully lainnya yang bersifat dramatis dan tidak diperhatikan.

“Pernah dengar ada pegawai yang kenaikan pangkatnya ditahan dan dimainkan bertahun-tahun tanpa alasan jelas? Atau pegawai dipecat karena alasan sepele? Atau dokter diberhentikan dari RS karena menarasikan hal berbeda? Itu semuanya bullying. Bulying jenis ini justru lebih fatal dan devastating,” katanya. 

Lebih jauh, menyoal oknum yang menjadi pelaku bullying terhadap dokter lainnya, dia minta tidak disamaratakan terhadap institusi atau dokter senior dan pendidik lain. Menurutnya, masih banyak dokter dan institusi kedokteran yang sangat humanis terhadap anak didiknya.

“Ketika ada satu polisi membunuh bukan berarti institusi kepolisian pembunuh. Atau ada hakim MK korupsi bukan berarti MK itu institusi korup. Intinya, jangan membakar satu lahan hanya karena ada satu tikus bersembunyi,” ucapnya. 

Lewat konferensi pers pada Kamis (20/7/2023) lalu, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengancam para senior pelaku perundungan terhadap dokter residen atau dokter umum yang sedang melaksanakan program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Menurut Budi, perundungan yang telah berjalan selama puluhan tahun harus dihentikan, karena menyebabkan kerugian fisik, mental serta finansial.

Atas dasar itu, pihaknya mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan (Inmenkes) Nomor 1512 Tahun 2023 dan platform pengaduan perundungan daring di laman https:perundungan.kemkes.go.id. Meski demikian, fitur aduan itu, kata dia, masih berlaku terbatas pada rumah sakit vertikal milik Kementerian Kesehatan, belum swasta atau RSUD.

Adapun jika beberapa pihak terbukti melanggar, dan ditemukan aksi perundungan, Budi menegaskan tak segan untuk memberi sanksi dari ringan hingga berat.

Dia mengatakan, aksi perundungan yang diterima dokter magang atau PPDS sangat beragam. “Pertama, peserta didik digunakan sebagai asisten, sekretaris, nganterin laundry, bayar laundry, nganter anak, ngurusin parkir. Jadi asisten pribadi,” lanjutnya.

Di kelompok kedua, Budi menganalogikan aktivitas bullying yang seperti pembantu pribadi. Menurut dia, para dokter residen banyak yang diminta menulis tugas milik peserta didik senior, jurnal hingga penelitian hingga lainnya. 

“Jadi akibatnya kasian juga juniornya, dia harusnya belajar untuk memperdalam spesialisasi yang diinginkan, dan disuruh kerja sebagai asisten pribadi buat tugas seniornya,” kata dia.

Kelompok terakhir, kata dia, kerap kali berkaitan dengan uang. Berdasarkan laporan yang diterima Budi, banyak laporan peserta didik junior yang selalu dimintai dana jutaan hingga ratusan juta rupiah untuk berbagai kebutuhan.

“Bisa buat nyiapin rumah kontrakan untuk kumpul-kumpul para senior setahun Rp 50 juta, bagi rata dengan juniornya. Atau praktik suka sampai malam, maunya makanan Jepang, jadi tiap malam mesti keluarkan Rp 5-10 juta untuk seluruhnya,” kata Budi.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement