Senin 31 Jul 2023 16:00 WIB

KPK Dinilai tak Salahi Wewenang Tangani Kasus Basarnas

KPK dinilai tidak menyalahi wewenang dalam menangani kasus Basarnas.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021-2023. KPK dinilai tidak menyalahi wewenang dalam menangani kasus Basarnas.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021-2023. KPK dinilai tidak menyalahi wewenang dalam menangani kasus Basarnas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai KPK perlu melanjutkan penyelidikan kasus dugaan korupsi Basarnas. Chandra meyakini KPK tak menyalahi kewenangannya dalam perkara yang menjerat anggota TNI aktif itu. 

Chandra menyampaikan perbedaan pandangan dalam menyikapi kasus Basarnas merupakan merupakan hal wajar selama memiliki argumentasi dan dalil.

Baca Juga

"Dalam kasus yang sedang dihadapi KPK terkait dugaan korupsi Basarnas, Saya berpendapat bahwa KPK telah sesuai hukum dan tidak melebihi kewenangannya," kata Chandra dalam keterangannya pada Senin (31/7/2023). 

Hal ini diperkuat sejumlah dalil. Pertama, merujuk Pasal 198 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bahwa Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Sementara, proses penyidikan dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri atas PM, oditur, dan penyidik umum. Tetapi, tim gabungan dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). 

"Selama belum ada keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menkumham, maka KPK dapat memungkinkan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan Pasal 42 UU KPK," ujar Chandra.

Kedua, Basarnas merupakan lembaga nonkementerian dan bukan institusi militer. Sehingga siapa pun pemimpinnya merupakan penyelenggara pemerintahan. 

"KPK memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara sesuai Pasal 11 Ayat (1) huruf a UU 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujar Chandra. 

Ketiga, Chandra menekankan perlu dilakukan audit apakah kerugian dugaan tindak pidana di Basarnas lebih banyak merugikan kepentingan umum atau kepentingan militer.

Hal ini guna menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara, diukur dari segi “titik berat kerugian” yang ditimbulkan tindak pidana itu. Hal ini berdasarkan Pasal 200 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

"Jika KPK sudah merasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kenapa KPK meminta maaf?" kata Chandra. 

Sebelumnya, KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengadaan barang di Basarnas pada Selasa (25/7/2023). Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut.

Kemudian, dalam konferensi pers pada Rabu (26/7/2023) KPK mengumumkan Marsdya Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan karena pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement