Senin 31 Jul 2023 15:17 WIB

Kasus Basarnas Dinilai Imbas Negatif Penempatan Tentara di Institusi Sipil

Pakar menilai kasus Basarnas imbas negatif penempatan tentara di institusi sipil.

Tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021-2023 Roni Aidil dan Marilya. Pakar menilai kasus Basarnas imbas negatif tentara di institusi sipil.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021-2023 Roni Aidil dan Marilya. Pakar menilai kasus Basarnas imbas negatif tentara di institusi sipil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, merespons kisruh operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Kabasarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka. Menurut dia, kasus ini menjadi contoh buruk penempatan anggota TNI aktif di lembaga sipil. 

Fickar sepakat dengan revisi UU TNI, khususnya yang mengatur penempatan TNI aktif di lembaga sipil. Fickar menyebut TNI yang duduk di lembaga sipil mestinya tunduk pada peradilan sipil. 

Baca Juga

"Aturan seharusnya dirubah, jangan seperti sekarang ini, di mana personel militer menjadi kewenangan peradilan militer, dengan aturan seperti ini pengkaryaan personel militer di institusi sipil menjadi tidak punya pijakan hukum lagi. Ini aspek negatif dari pengkaryaan militer di instansi sipil," kata Fickar kepada Republika.co.id, Senin (31/7/2023). 

Fickar mendorong agar personel TNI aktif diberhentikan sementara ketika menjabat di institusi sipil. Sehingga mereka dapat diselidiki dengan mekanisme UU pemberantasan tindak pidana korupsi ketika melakukan dugaan korupsi. 

"Mestinya militer yang bertugas di instansi sipil diberhentikan sementara sebagai militer, sehingga sepenuhnya menjadi sipil dan tunduk pada hukum sipil termasuk terhadap UU Korupsi," ujar Fickar. 

Fickar juga mengkritisi kewenangan sistem peradilan militer untuk memproses anggota TNI aktif saat melakukan dugaan tindak pidana. Menurut dia, aturan semacam ini sejatinya tidak menunjukkan keadilan.

"Mestinya hanya berlaku di waktu perang dan terbatas pada kejahatan yang bersifat militer, tetapi KUHPM dan KUHAP Militernya masih mengatur seperti, memang kelihatannya tidak adil," kata Fickar. 

Sebelumnya, KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengadaan barang di Basarnas pada Selasa (25/7/2023). Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut. 

Kemudian, dalam konferensi pers pada Rabu (26/7/2023) KPK mengumumkan Marsdya Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan lantaran pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement