REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik (parpol) baru dan nonparlemen menghadapi sejumlah tantangan agar bisa melewati electoral threshold sebesar empat persen. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan pun menyampaikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
Pertama, parpol dihadapkan pada party ID (identitas partai) yang rendah. Kedua, volatilitas parpol tinggi di tingkat provinsi, namun cenderung rendah di tingkat nasional.
"Jadi ada kecenderungan lebih dari 50 persen, pemilih akan memilih partai yang sama di Pemilu 2024," ujar Djayadi dalam webinar nasional yang digelar Moya Institute, bertema 'Tantangan dan Peluang Parpol Baru pada Pemilu 2024'' di Jakarta, Jumat (22/7/2023).
Ketiga, kata Djayadi, minat pemilih untuk mendukung partai baru cenderung turun. Performa partai baru paling tinggi terjadi pada 2004. "Total suara partai baru di 2004 itu 21,3 persen, hanya kalah dari Golkar yang memperoleh 22 persen lebih. Jumlah itu, turun jadi 7,2 persen di 2009 dan seterusnya."
Keempat, jumlah partai yang masuk di parlemen dalam beberapa kali pemilu cenderung stabil. Artinya pilihan orang cenderung stabil ke partai-partai yang sama. "Usia rata-rata partai di atas 15 tahun. Hanya dua partai yang usianya 10 tahun lebih. Artinya partai-partai di DPR akan bertahan. Ini mempersulit partai baru untuk masuk," kata Djayadi.
Kelima, parpol baru belum dikenal luas di publik. Partai baru, menurut dia, hanya punya popularitas sekitar 60 persen untuk menopangnya masuk parlemen. "Upaya sosialisasi partai menjadi kunci. Masalahnya adalah waktu tinggal kurang dari tujuh bulan. Perlu mempercepat kedikenalan partai oleh masyarakat," kata Djayadi.
Keenam, semua partai politik memiliki kecenderungannya yang sama soal kebijakan ekonomi, politik, dan sosial. Parpol belum mampu saling membedakan diri dalam persoalan tersebut.
"Itulah yang menyebabkan pilihan terhadap partai menjadi stabil. Yang membedakan antarpartai saat ini hanya soal bagaimana hubungan Islam dan politik. Pertanyaannya, partai baru mau main di ceruk mana?" ujar Djayadi.
Pemerhati isu global dan strategis Prof Dubes Imron Cotan menuturkan, setiap parpol memiliki ruang dan peluang yang sama untuk meraup suara pemilih sebesar-besarnya pada Pemilu 2024. Secara khusus, Imron menyoroti, parpol baru relatif lebih besar tantangannya mulai dari proses pembentukannya yang tidak mudah, biaya yang tidak murah, sekaligus harus berhadapan dengan pertarungan elektoral melawan parpol lama.
Untuk menutup defisiensi tersebut, pemberdayaan tokoh lokal berwawasan nasional, seperti Tuan Guru Bajang dari NTB dibutuhkan. "Penetapan prinsip think nationally, act locally dalam rekrutmen politikus bisa memecah dominasi elite politik yang menumpuk di Pulau Jawa, sehingga terjadi diversifikasi politik ke seluruh wilayah," kata Cotan.